swastanisasi air sudah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp1,8 triliun
Jakarta (ANTARA) - Pemprov DKI Jakarta menyebut perpanjangan kerja sama PAM Jaya dengan pihak swasta AETRA Jakarta untuk 25 tahun lagi setelah berakhir pada 2023, masih dalam proses.

"Masih panjang itu urusannya, sekarang masih berproses," kata Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Sri Haryati di Polda Metro Jaya, Jumat.

Perpanjangan ini, disebutkan oleh pengacara publik dari LBH Jakarta Jeanny Sirait kemungkinan akan menimbulkan kerugian negara karena selama 25 tahun swastanisasi air sudah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp1,8 triliun.

"Kalau kita melihat selama selama 25 tahun, swastanisasi air sudah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp1,8 triliun. Belum beban yang ditanggung masyarakat cukup tinggi mulai dari bayar air mahal, air sering ngadat, bau, kotor dan lain sebagainya," ujar dia.

Menurut Jeanny, jika Pemprov DKI Jakarta di bawah Anies Baswedan kembali melanjutkan kerja sama selama 25 tahun ke depan, artinya harus berapa kerugian lagi yang akan ditanggung oleh negara.

Baca juga: Anies sebut turunnya permukaan tanah terjadi di kawasan nonpipanisasi

"Selama 25 tahun ada Rp1,8 triliun kerugian negara. Dari situ kami menyatakan bahwa Gubernur Anies, telah melanjutkan kerugian yang dialami negara sebesar kurang lebih 25 tahun kemarin. Apabila kembali dilanjutkan selama 25 tahun ke depan maka berapa lagi kerugian negara yang harus ditanggung," tuturnya.

Jeany juga mempertanyakan apakah Anies tidak ingat dengan kampanyenya yang disebut-sebut seorang pemimpin humanis dengan memperpanjang kerja sama air dengan swasta.

"Saat Anies waktu kampanye, mengatakan menjadi akan pemimpin yang humanis, kami melihat dia mengingkari janjinya dengan memperpanjang swastanisasi air. Karena dengan swastanisasi air maka dia sudah melanggar hak atas air bagi warga negara, hak atas air merupakan bagian dari hak atas hak asasi manusia. Dimana letak humanisnya," ucapnya.

Selain itu, dia juga mempertanyakan efektivitas dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air yang digadang-gadang merupakan perhatian dari Anies Baswedan untuk menangani pengelolaan air.

"Jadi, Tim Evaluasi Tata Kelola Air, bekerjanya tidak maksimal karena privatisasi dilanjutkan. Padahal orang-orang yang bekerja di tata kelola air dibayar oleh negara," katanya.

Baca juga: Aetra pastikan air baku Waduk Jatiluhur stabil selama kemarau

Anies sebelumnya telah membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum yang terdiri dari kalangan profesional, aktivis dan birokrat melalui SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 891 Tahun 2020 mengenai persetujuan Adendum Perjanjian Kerja sama Antara Perusahaan Daerah Air Minum Khusus Ibukota Jakarta dengan PT AETRA Air.

Tim tersebut berisi Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Saefullah, Direktur Amarta Institute Nila Ardanie, mantan Dirut Tempo Bambang Harimurti, Kepala Dinas Sumber Daya Air Teguh Hendarwan dan Dirut PAM Jaya Bambang Hernowo.

Hasil kerja selama enam bulan tim tersebut telah menghasilkan tiga rekomendasi dalam penghentian swastanisasi air, antara lain status quo atau membiarkan kontrak selesai sampai dengan waktu berakhirnya pada 2023, pemutusan kontrak kerja sama saat ini juga dan pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata.

Anies mengatakan pihaknya mengambil rekomendasi yang terakhir, yakni pengambilalihan melalui tindakan perdata untuk menyegerakan rekomendasi itu, Anies telah meminta Dirut PAM Jaya segera membuat perjanjian awal (HoA) dalam pengawasan Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum dan disebut akan segera diselesaikan.

Baca juga: Aetra Air Jakarta targetkan 25 ribu pelanggan baru

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020