Calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan terbukti tidak peduli pada kesehatan masyarakatnya, tetapi hanya peduli pada elektabilitas mereka sendiri.
Jakarta (ANTARA) - Meskipun dihujani protes dan kritikan, pemerintah beserta DPR, Komisi Pemilihan Umum, dan partai politik tetap bergeming dan melanjutkan tahapan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serentak di 270 daerah pada tanggal 9 Desember 2020.

Sebagai bukti dari janji saat memutuskan melanjutkan pilkada, semestinya seluruh pemangku kepentingan berikhtiar keras untuk melindungi masyarakat dari ancaman virus SARS-CoV-2 dengan menerapkan protokol kesehatan selama rangkaian Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

Pesta demokrasi ini juga sepatutnya menjadi momentum calon kepala daerah untuk beradu gagasan dalam penanganan COVID-19, dan memberi contoh kepada masyarakat mengenai partisipasi terbaik untuk memutus rantai penularan virus corona tipe baru ini.

Namun, praktiknya jauh dari ekspektasi atau bisa dikatakan jauh panggang dari api. Sejak dibukanya tahap pendaftaran bakal calon pada tanggal 4 September 2020 dan masa kampanye, 26 September sampai dengan 5 Desember 2020, protokol kesehatan kerap dilanggar.

Hingga pekan terakhir masa kampanye, terdapat 1.510 pelanggaran terhadap protokol kesehatan oleh peserta pilkada. Sebanyak 16 kasus pelanggaran itu sudah masuk ranah pidana.

Timbulnya kerumunan, tidak menggunakan masker, dan tidak berjaga jarak adalah beberapa contoh pelanggaran protokol kesehatan selama masa kampanye pilkada. Pelanggarannya memang berisifat umum. Namun, risikonya adalah kesehatan masyarakat.

Potensi pelanggaran protokol kesehatan juga masih bisa terjadi pada masa tenang pilkada, 6—8 Desember 2020, dan hari pencoblosan pada tanggal 9 Desember 2020.

Baca juga: Bawaslu: Pelanggaran protokol kesehatan berada di peringkat teratas

Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, periode masa tenang dan pencobolosan merupakan tahapan pilkada dengan potensi pelanggaran aturan yang tinggi.

Pasalnya, dua tahapan tersebut menjadi ajang para kandidat dan tim suksesnya menarik simpati masyarakat yang memiliki hak pilih.

Pilkada kali ini digelar di 270 daerah dengan perincian sembilan pemilihan tingkat provinsi, 224 pemilihan tingkat kabupaten, dan 37 pemilihan tingkat kota madya. Pilkada serentak 2020 pun bakal melibatkan lebih dari 100,3 juta warga yang sudah tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Jutaan pemilih tersebut dijadwalkan menggunakan hak pilihnya di 298.939 tempat pemungutan suara (TPS) yang menyebar di 309 kabupaten/kota. Selain jumlah pemilih yang besar, Pilkada 2020 melibatkan pula petugas pelaksana pemilihan dan pengawas yang tidak sedikit.

Di setiap TPS, ada setidaknya tujuh anggota KPPS dan dua petugas ketertiban. Artinya, ada sekitar 2,6 juta petugas di lokasi pencoblosan yang dikerahkan. Angka itu belum para pengawas dan saksi yang memantau jalannya pemungutan suara pada tanggal 9 Desember mendatang.

Pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan semua pasangan calon (paslon) agar mematuhi protokol kesehatan COVID-19 di setiap tahapan pilkada. Paslon juga harus bisa memastikan seluruh pendukung dan simpatisannya disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan selama tahapan pilkada.

Tahapan itu mulai dari pendaftaran, kampanye, masa tenang, hari pemilihan, hingga penetapan pasangan calon terpilih.

Pemerintah juga meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk segera menindak tegas calon kepala daerah yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Bawaslu diminta berkoordinasi dengan Satgas COVID-19 daerah untuk segera melakukan penindakan.

Baca juga: Dewan Etik: Kode Etik bertujuan jaga kemandirian Mappilu PWI

Tolok Ukur

Tito juga menginginkan agar isu penanganan COVID-19 masuk dalam tahapan penyelenggara Pilkada 2020, seperti pada debat para kandidat. Pada sesi ini, para paslon dapat beradu gagasan terkait dengan penanganan COVID-19 di daerahnya masing-masing.

Gagasan paslon mengenai kebijakan penanganan COVID-19 dapat menjadi tolok ukur kapabilitas paslon untuk menyelematkan rakyatnya dari pandemi.

"Kalau enggak punya gagasan (soal COVID-19), jangan dipilih," katanya.

COVID-19 perlu menjadi perhatian calon pemilih karena pandemi belum pasti tuntas dalam waktu dekat.

Menurut data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, setelah 10 bulan pandemi, alih-alih melandai, perkembangan kasus positif COVID-19 di Indonesia justru kian mengganas.

Terakhir, rekor positif kasus COVID-19 menembus angka di atas 8.000 kasus per hari. Sejumlah daerah pun mulai menunjukkan peningkatan tingkat keterisian ranjang ruang isolasi dan ruang perawatan intensif (ICU).

Baca juga: Bawaslu tegaskan pasien COVID-19 tetap memiliki hak pilih

Seperti yang kerap dinyatakan Presiden RI Joko Widodo, keselamatan masyarakat adalah yang utama saat ini. Esensi tersebut sepatutnya juga tergambarkan dalam program paslon dan cara berkampanye para paslon.

Calon kepala daerah seharusnya bisa menjadi panutan (role model) bagi masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan yang telah diatur dalam pilkada.

"Jika mengendalikan ratusan orang pendukungnya saja tidak mampu, bagaimana nanti calon kepala daerah tersebut memimpin ribuan atau jutaan orang di daerah," ujar Tito.

Koordinator Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa peran kepala daerah yang terpilih nanti akan sangat penting untuk membawa daerah terkait dengan keluar dari masa sulit pandemi COVID-19.

Maka itu, ujar Wiku, pilihlah paslon yang menaati aturan-aturan terkait protokol kesehatan saat berkampanye karena hal itu dapat menjadi cerminan tanggung jawab paslon tersebut ke depan.

Para kepala daerah yang nantinya terpilih juga akan menentukan arah ketahanan kesehatan serta pemulihan masing-masing daerah dari masa sulit pandemi.

Wiku berharap masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya memiliki pemimpin yang bertanggung jawab dan memiliki kapasitas serta komitmen untuk memimpin daerah di tengah masa pandemi.

Baca juga: Ombudsman ingatkan KPU percepat distribusi logistik protokol kesehatan

Setelah hari pencobolosan, masa rentan penularan COVID-19 dalam tahapan pilkada belum berakhir.

Merujuk data yang dijabarkan tim Satgas Penanganan COVID-19, beberapa negara yang menyelenggarakan pemilu saat pandemi COVID-19 mengalami peningkatan kasus setelah hari-H pencoblosan,

Beberapa negara itu adalah Belarus, Polandia, Serbia, dan Singapura. Di antara penyebab peningkatan kasus itu adalah terjadinya demonstrasi lanjutan setelah hari pencoblosan untuk memprotes hasil pemungutan suara.

Indonesia tentu perlu belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain yang lebih dahulu melaksanakan pemilu di tengah pandemi COVID-19.

Di tengah upaya keras penyelenggara, dan peserta untuk menertibkan tahapan pilkada, sebagai warga harus lebih waspada di tengah penularan COVID-19 yang kian menggila.

Jangan sampai Pilkada Serentak 2020 menimbulkan klaster baru penularan seperti yang terjadi saat liburan panjang akhir Oktober 2020, ataupun acara penyambutan tokoh agama di pertengahan November 2020.

Kendali sebenarnya ada pada tangan masyarakat. Jangan berhenti melindungi diri dan mengedukasi anggota keluarga serta masyarakat sekitar.

Tidak perlu ragu untuk memberikan sanksi kepada calon kepala daerah yang abai dalam menerapkan protokol kesehatan dengan tidak mencoblosnya.

Para calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan terbukti tidak peduli pada kesehatan masyarakatnya, tetapi hanya peduli pada elektabilitas mereka sendiri.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020