Jakarta (ANTARA) - Kebutuhan anak baik secara fisik maupun mental psikologis mereka kerap kali tidak menjadi perhatian khusus di tengah pandemik.

Termasuk dalam hal produk hukum dan regulasi yang lebih berpihak pada kepentingan mereka pun seakan tak lagi menjadi prioritas saat pandemik melanda.

Fokus kesehatan tetap menjadi nomor satu, namun isu turunan terkait anak termasuk penanganan stunting atau kekerdilan dan malnutrisi seakan tampak tidak lagi menjadi perhatian utama.

Padahal, sebagai salah satu Program Strategis Nasional (PSN), program penanganan kekerdilan terus dipantau banyak pemangku kepentingan mengingat dampaknya bagi kelangsungan dan kualitas generasi mendatang.

Sayangnya memang terobosan yang diharapkan terjadi dan dilakukan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih harus menunggu petunjuk teknis atas Permenkes Nomor 29 tahun 2019 yang masih belum dikeluarkan oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio secara khusus menyatakan kekhawatiran-nya bahwa ketiadaan petunjuk teknis atas Permenkes Nomor 29 tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi Bagi Anak Akibat Penyakit akan memengaruhi penanganan anak yang diindikasikan gagal tumbuh (faltering growth) yang menjadi indikasi awal sebelum kejadian kekerdilan pada anak.

Agus berharap Kementerian Kesehatan dalam hal ini Dirjen Kesehatan Masyarakat bisa segera mengeluarkan petunjuk teknis atas Permenkes Nomor 29 tahun 2029 sebagai hadiah akhir tahun bagi anak Indonesia.

Pada dasarnya semua pihak telah menyadari bahwa Indonesia memang memerlukan regulasi yang berpihak pada anak.

Baca juga: Mencegah kekerdilan pada anak kesayangan

Baca juga: Kolaborasi kampus dengan berbagai pihak dapat turunkan angka stunting


Sebab baik buruk negeri ini akan sangat tergantung bagaimana bangsa ini mencetak generasi penerus-nya termasuk pemenuhan gizi atas tumbuh kembang anak.

Harus Diobati
Menurut Profesor Damayanti, Guru Besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), kekerdilan merupakan suatu penyakit bukan hanya sekadar kurang gizi, namun harus diobati dengan pangan khusus untuk kebutuhan medis khusus (PKMK) dan bukan hanya sekadar dengan makanan tambahan.

Jika dalam 1.000 hari pertama dalam kehidupan tidak diobati secara serius, maka anak kekerdilan sudah tidak bisa lagi disembuhkan dan masa depannya akan kurang baik karena selain pendek kemampuan otaknya juga di bawah rata-rata.

Secara nasional, jika jumlah prevalensi kekerdilan besar, maka sumber daya manusia Indonesia ke depan tentunya akan rendah kualitas-nya.

Secara definisi kekerdilan merupakan masalah kesehatan di mana seorang bayi atau anak-anak mengalami hambatan dalam pertumbuhan tubuhnya, sehingga gagal memiliki tinggi yang ideal pada usianya dan ketika dewasa kemampuan otaknya atau intelektualitas-nya juga rendah.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio kembali menekankan dasar hukum untuk menjalankan PSN stunting sudah ada, yaitu Permenkes Nomor 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi Bagi Anak Akibat Penyakit.

Jadi kekerdilan itu penyakit gizi buruk, bukan hanya kekurangan gizi yang mudah ditanggulangi dengan hanya memberikan makanan tambahan bergizi dalam usia balita.

Hanya saja Permenkes tersebut sampai hari ini, sudah satu tahun lebih sejak ditandatangani Menteri Kesehatan pada 27 Agustus 2019, belum dapat dilaksanakan secara penuh karena Petunjuk Teknis (Juknis)-nya belum kunjung selesai.

"Juknis menjadi penting untuk menjalankan Permenkes Nomor 29 Tahun 2019 tersebut secara utuh. Juknis tersebut seharusnya berisi cara mengidentifikasi anak gizi kurang dan gizi buruk, memberikan pemahaman Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK), persyaratan komposisi penggunaan PKMK, pemahaman anak bermasalah gizi, pemantauan program evaluasi pelaporan program," tutur Agus.

Agus berharap sebelum tutup tahun 2020 ini, Juknis sudah selesai sehingga dapat segera diterapkan di lapangan, termasuk melakukan program pelatihan untuk para dokter umum dan para medis di Puskesmas/Posyandu dengan tujuan menyamakan persepsi tentang stunting atau kekerdilan , termasuk mendeteksi dan menanganinya.

Masih Tinggi
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengungkapkan jumlah kasus kekerdilan di Indonesia sampai 2019 masih tinggi.

Hal ini patut menjadi perhatian mengingat angka tersebut lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal atau ambang batas kekerdilan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20 persen.

"Hasil survei status gizi balita Indonesia pada 2019 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 27,67 persen," ucap Menkes.

Angka ini masih jauh dari target pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi kekerdilan menjadi 14 persen di tahun 2024.

Baca juga: Upaya mempercepat penurunan angka "stunting" terhambat semasa pandemi

Baca juga: Universitas Hasanuddin diskusikan cegah stunting masa pandemi COVID-19


Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio juga melihat bahwa penyusunan Juknis oleh Kemenkes di bawah komando Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Gizi Masyarakat terkendala oleh penanganan pandemik COVID-19.

"Kami berharap isi Juknis yang disusun terintegrasi dan disepakati oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Rumah Sakit Kabupaten/Kota. Kemenkes harus menyediakan anggaran termasuk untuk pengadaan PKMK, deteksi dini penanganan stunting dalam 1.000 hari kelahiran serta monitoring evaluasi-nya," ujarnya.

Untuk itu diharapkan Kemenkes dapat melakukannya secara bertahap dengan menggunakan pilot project. Menurut Kemenkes rencana tahun 2021 akan dilakukan uji coba di sekitar 10 kabupaten/Kota.

Penanganan kekerdilan pemerintah tercatat di pengujung Kabinet lalu menunjukkan hasil yang gemilang. Sayangnya pada 2020 masih serasa jalan di tempat dan tidak ada pergerakan penurunan prevalensi kekerdilan yang signifikan.

Jika pandemik belum dapat diatasi pada 2021 dan penanganan kekerdilan tidak ada percepatan, maka target prevalensi kekerdilan 14 persen pada 2014 dipastikan akan jauh dari harapan.

Anak merupakan kelompok rentan pada masa pandemik, namun memiliki peran besar bagi kelangsungan bangsa ini.

Pejabat Kemenkes yang menangani kekerdilan pada anak-anak tidak boleh bersikap "business as usual" karena Presiden berulangkali menegaskan bahwa jangan menganggap situasi ini seperti situasi biasa.

Terobosan kebijakan harus dilakukan dengan segera walaupun tidak mudah. Keberadaan Juknis ditunggu dalam rangka percepatan penanganan kekerdilan.

Sebab, kekerdilan merupakan Program Strategis Nasional yang dicanangkan langsung oleh Presiden. Ketiadaan Juknis akan menimbulkan kekosongan kebijakan yang diperlukan di lapangan.

Selain itu supaya penanganan program kekerdilan cepat bergerak-nya, revitalisasi sambil berjalan Puskesmas/Posyandu, khususnya di beberapa daerah terpencil, terluar, dan terbelakang harus dilakukan karena mereka merupakan ujung tombak pelaksanaan pengurangan kekerdilan di seluruh Indonesia.

Menurut Absensi data dasar Puskesmas 2018 melalui aplikasi Komdat sampai 31 Agustus 2019, jumlah Puskesmas di seluruh Indonesia dengan beragam klasifikasi dan kondisi sekitar 9.993.

Jika petunjuk teknis dapat terbit pada Desember 2020, maka Tahun Anggaran 2021 pelaksanaan Permenkes Nomor 29 tahun 2019 diperkirakan dapat dilakukan percepatan penanganan atas kasus kekerdilan yang terjadi.

Anak Indonesia bukan sekadar butuh perhatian untuk satu sisi semata, namun juga sebuah regulasi yang berpihak pada masa depan mereka.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020