Berharap pengadilan tetap bersikap independen
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI Junimart Girsang mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk mengeluarkan pemberitahuan merah (red notice) kepada kepolisian internasional (interpol) tentang penangkapan buronan di daftar pencarian orang (DPO) Polri, Benny Tabalujan.

Tersangka pemalsu akta autentik tanah di Cakung, Jakarta Timur itu, diduga melarikan diri ke Australia.

“Saya kira harusnya dikeluarkan (red notice), tidak pandang kasus besar atau kecil, karena ada asas equality before the law, semua sama di mata hukum,” ujar politisi PDI Perjuangan itu kepada wartawan di Jakarta, Senin.

Menurut Junimart, Polri semestinya sudah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencekal tersangka, agar tidak bisa kabur ke luar negeri.

Namun, bukan tak mungkin jika bos PT Salve Veritate yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri itu, sudah telanjur kabur ke luar negeri.

Karena itu, Junimart sangat menyarankan agar Markas Besar (Mabes) Polri melakukan langkah pengejaran selanjutnya, yaitu berkoordinasi dengan Interpol.

“Langkah kedua mengejar DPO yang sudah ke luar negeri ya memang ke Biro Pusat Nasional (National Central Bureau/ NCB) Interpol negara tersebut, supaya kita bisa menggunakan jaringan dunia,” kata dia.

'Red Notice' dikeluarkan oleh Polri untuk seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus pidana. Kepolisian dari negara anggota Interpol akan lebih dulu mengirimkan permintaan pencarian dan penangkapan seorang tersangka.

Kepolisian negara pemohon, harus lebih dulu menunjukkan surat perintah penangkapan yang sah sebagai dasar permintaan kepada Interpol. Selanjutnya, Interpol akan merespons dengan mengeluarkan pemberitahuan kepada kepolisian di 190 negara mengenai permintaan tersebut. Sementara Polri sudah menjadi anggota Interpol sejak 1952.

Hingga saat ini, Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Mabes Polri masih belum menerima pengajuan 'red notice' untuk nama Benny Tabalujan dari Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya).
Baca juga: Junimart Girsang: Kepastian hukum percepat pemulihan ekonomi


Status DPO untuk yang bersangkutan sudah diterbitkan Polri, saat berkas tersebut diajukan ke jaksa penuntut umum (JPU).

Kuasa hukum Benny Tabalujan, Haris Azhar mengatakan kliennya bukan tak mau dihadirkan ke persidangan, namun Benny tak bisa pulang ke Indonesia karena Australia tidak mengizinkan orang keluar masuk negaranya di masa pandemi.

Sebelumnya, Benny Tabalujan disangkakan pidana pemalsuan surat akta autentik, sehingga diancam pidana menurut ketentuan Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Secara terpisah, Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan bahwa KY akan selalu terbuka terhadap adanya laporan pelanggaran etika atau tindakan hakim.

Jaja berharap pengadilan tetap bersikap independen.

“Tidak ada perhatian khusus terhadap kasus tertentu atau hakim tertentu, tapi kalau ada yang minta, kita selalu pantau, mau perkara besar atau perkara kecil. Kita kan tidak boleh membeda-bedakan perkara dan orang,” kata dia pula.

Kasus itu awalnya terungkap ketika pelapor Abdul Halim hendak melakukan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur.

Saat itu, Abdul Halim terkejut karena pihak BPN mengatakan ada 38 sertifikat di atas tanah milik Abdul Halim di Kampung Baru RT 09 RW 08, Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung Kota, Jakarta Timur, dengan nama PT Salve Veritate yang diketahui milik Benny Simon Tabalujan dan rekannya, Achmad Djufri.

Dalam kasus itu, Polda Metro Jaya menetapkan Benny Simon Tabalujan sebagai tersangka. Benny juga sudah menjadi DPO karena selalu mangkir dari panggilan penyidik. Namun Benny dalam pelariannya menunjuk aktivis HAM, Haris Azhar, menjadi kuasa hukumnya.

Achmad Djufri saat ini sedang menjalani persidangan di PN Jakarta Timur. Sedangkan mantan Juru Ukur BPN Paryoto disidangkan atas kasus yang sama, dengan nomor perkara yang berbeda.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020