Beberapa hal dalam RPP tersebut yang dinilai merugikan petani antara lain kebijakan mengenai sanksi administrasi
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengharapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja Sektor Kehutanan, yang saat ini sedang dibahas tidak membebani petani kelapa sawit.

Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung, dalam jumpa pers virtual di Jakarta, Rabu menyatakan draf RPP di sektor kehutanan dan perkebunan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11/2020 Cipta Kerja dinilai semakin merugikan petani sawit

"Sejak awal petani sawit yang tergabung dalam Apkasindo sangat mendukung penyusunan UU Cipta Kerja. Karena semangat regulasi ini bertujuan menyederhanakan regulasi dan membantu petani rakyat dalam persoalan legalitas," ujarnya.

Baca juga: Akademisi : RPP Kawasan Hutan jangan rugikan petani sawit

Namun, lanjutnya, produk turunan UU Cipta Kerja terutama di RPP terkait Kepastian Penyelesaian Lahan Perkebunan Sawit Rakyat pada Sektor Kehutanan dan Perkebunan tidak menguntungkan petani.

Beberapa hal dalam RPP tersebut yang dinilai merugikan petani antara lain kebijakan mengenai sanksi administrasi.

Dia menyebutkan RPP sektor kehutanan itu, telah mengunci definisi perizinan berusaha terbatas pada izin lokasi dan izin usaha di bidang perkebunan. Padahal, petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang sebelumnya demikian juga dengan permentan.

Kemudian, aturan tersebut menutup peluang bagi para pekebun yang lahannya 6-25 ha untuk memperoleh pelepasan kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 ha.

Dalam draf RPP bagi petani yang luas lahannya 5 hektare ke bawah akan diakomodir RPP, tapi dengan syarat wajib tinggal di kebun atau berdomisili sekitarnya.

Solusi yang ditawarkan dalam RPP dinyatakan persetujuan penggunaan kawasan hutan bagi petani sawit tidak akan dapat dicapai jika petani sawit tidak mampu membayar denda administrasi yang telah ditetapkan.

"Ini tidak masuk akal, masa petani harus membayar denda. Karena mustahil petani dapat bayar denda yang nilainya ratusan juta rupiah," ujarnya.

Anggota Dewan Pakar Bidang Hukum DPP Aspkasindo Samuel Hutasoit menilai RPP Sanksi Administrasi tersebut bertentangan dengan UU Cipta Kerja karena membuka ruang untuk tetap melanjutkan penyidikan atas dugaan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja.

"Padahal ketentuan dalam UU Cipta Kerja telah dengan tegas menentukan sanksi terhadap kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja adalah sanksi administratif, bukan sanksi pidana,” katanya.

Terkait hal itu Apkasindo mengusulkan kepada pemerintah untuk mengeluarkan seluruh areal kebun sawit (eksisting) dari kawasan hutan yang masih dalam tahap penunjukan, tahap penataan batas, tahap pemetaan berdasarkan tanda bukti hak berupa surat tanda daftar budi daya, hak-hak adat, tanda bukti jual beli lahan pekebun dan tanda bukti hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.

Dari data Apkasindo, lanjut Gulat Manurung, perkebunan sawit rakyat yang diklaim dalam kawasan hutan seluas 3,2 juta hektare (48 persen) dari 6,7 juta hektare.

"Akibat klaim kawasan hutan, maka perkebunan sawit petani tidak bisa mengikuti program strategis Presiden Jokowi seperti peremajaan sawit rakyat (PSR) dan sertifikasi Indonesia sustainable palm oil (ISPO)," ujarnya.

Baca juga: Pakar sebut pengembangan biodisel di Indonesia menjanjikan
Baca juga: RI lancarkan enam alternatif kebijakan respon Uni Eropa soal sawit

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020