Setidaknya ada sembilan perwira tinggi Polri yang bekerja di KPK, di antaranya tujuh orang pada level direktur, seorang pada level deputi dan seorang pada level pimpinan.
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pelantikan 37 orang untuk mengisi 38 jabatan struktural baru di KPK dapat mengikis independensi lembaga penegak hukum tersebut.

"Secara umum, masalah pelantikan pejabat struktural baru KPK dapat dipandang sebagai upaya dari pimpinan untuk makin mengikis independensi kelembagaan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Selasa.

Pada hari Selasa Ketua KPK Firli Bahuri melantik 37 orang pegawai KPK untuk menduduki 38 jabatan struktural sebagai tindak lanjut dari pengesahan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kelola KPK

Penyebabnya, menurut Kurnia, sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK, terlihat adanya tren pejabat struktural diisi oleh anggota kepolisian.

Baca juga: Pimpinan KPK lantik 37 pejabat untuk isi struktur baru

"Saat ini saja, pascapelantikan, setidaknya ada sembilan perwira tinggi Polri yang bekerja di KPK, di antaranya tujuh orang pada level direktur, seorang pada level deputi dan seorang pada level pimpinan," kata Kurnia.

Tidak hanya itu, kebijakan untuk melantik puluhan pejabat KPK itu juga dapat dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan.

"Hal itu dikarenakan landasan hukum yang dijadikan dasar pelantikan bermasalah," kata Kurnia.

Menurut Kurnia, perubahan regulasi KPK menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang revisi UU KPK tidak diikuti dengan pergantian substansi Pasal 26 dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Artinya, nomenklatur struktur KPK harus kembali merujuk pada Pasal 26 UU No. 30/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2019, yaitu bidang pencegahan, bidang penindakan, bidang informasi dan data, serta bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat," kata Kurnia.

Baca juga: KPK mulai rekrut pejabat struktural baru pada Januari 2021

Namun, kenyataannya Perkom No. 7/2020 malah menambahkan nomenklatur baru, seperti deputi bidang pendidikan dan peran serta masyarakat, inspektorat, staf khusus, dan jabatan lainnya.

"Ini menunjukkan bahwa Keputusan Pimpinan KPK Nomor 1837/2020 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi dan Administrator pada KPK bertentangan dengan UU No. 19/2019 dan tidak dapat dibenarkan," kata Kurnia.

Nomenklatur baru KPK itu, menurut dia, juga bertolak belakang dengan konsep reformasi birokrasi yang menitikberatkan pada isu efisiensi karena tadinya KPK hanya memiliki empat kedeputian dengan 12 direktorat. Namun, setelah pemberlakuan Perkom No. 7/2020, stuktur KPK membengkak menjadi, lima kedeputian dengan 21 direktorat.

"Penggemukan ini juga berimplikasi pada pelaksanaan fungsi trigger mechanism KPK," ujarnya.

Sebagai lembaga negara, lanjit dia, sepatutnya menjadi contoh reformasi dan efisiensi birokrasi, legitimasi KPK dalam memberikan masukan untuk perampingan kementerian dan lembaga negara lainnya akan berkurang akibat penggemukan struktur KPK.

Baca juga: Polemik perubahan struktur organisasi KPK

Akibat lainnya dari penggemukan ini adalah melambatnya kinerja KPK.

Kurnia juga mengatakan terbuka melakukan uji materi untuk Perkom No. 7/2020 di Mahkamah Agung.

Menurut dia, Perkom Nomor 7 Tahun 2020 dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung jika ada pengajuan uji materiel terhadapnya, akan makin besar sebab pada prinsipnya, sebuah regulasi yang menjadi turunan dari UU tidak boleh bertentangan satu sama lain.

"Perkom No. 7/2020 secara terang-terangan bertentangan dengan UU No. 19/2019," ungkap Kurnia.

Masalah lainnya, pelantikan pejabat struktural KPK tersebut akan semakin menurunkan kepercayaan publik kepada KPK.

"Penting untuk diingat, sepanjang tahun 2020 setidaknya ada lima lembaga survei yang mengonfirmasi adanya degradasi kepercayaan publik pada KPK, semestinya ini menjadi catatan dan evaluasi bagi pimpinan untuk tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang keliru," kata Kurnia.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021