“Saya tahu kekuatan yang memecah belah kita itu dalam dan nyata. Namun saya tahu itu bukanlah hal baru.”
Jakarta (ANTARA) - Sekitar dua belas kali kata “demokrasi” diucapkan oleh Joseph Robinette Biden saat menyampaikan pidato berjudul “We will write an American story of hope” (Kita akan menuliskan kisah tentang harapan Amerika) saat dilantik sebagai presiden Amerika Serikat ke-46 di Capitol, Washington DC, Rabu 20 Januari.

Berusia 78 tahun, dia menjadi presiden tertua yang pernah dilantik. Dia didampingi wakil presiden perempuan pertama AS, Kamala Harris, yang juga kulit hitam pertama serta keturunan Asia selatan pertama yang menduduki jabatan publik tertinggi di negeri itu.

Di atas catatan-catatan bersejarah itu, Biden menghadapi masalah berat: merawat demokrasi dan memupuk lagi persatuan.

Mengulang ikrar para pendahulunya yang akan menjadi presiden bagi semua rakyat Amerika Serikat sehingga melayani pula aspirasi mereka yang tidak memilihnya, Biden konstan mengajak bersatu dan berekonsiliasi.

Empat tahun pemerintahan Donald Trump, ditambah masa pemilu November lalu, telah membuat bangsa terbelah, justru ketika tantangan yang dihadapi AS, terutama pandemi, memerlukan gerak bersama semua elemen bangsa. Meskipun begitu, Biden juga memberikan pesan tegas untuk mengalahkan apa yang disebutnya ekstremisme politik, rasisme supremasi kulit putih dan terorisme domestik.

Biden berkata. “Suara rakyat telah didengar dan suara rakyat telah diindahkan. Kita kembali diingatkan bahwa demokrasi itu berharga dan rapuh. Sampai detik ini saudara-saudaraku, demokrasi menang. Ini harinya Amerika. Ini harinya demokrasi.”

Artikulasi demokrasi ini tak hanya proklamasi untuk kemenangan demokrasi dan tekad mempersatukan negara demi mencapai lagi status tinggi negeri itu, namun juga melukiskan apa yang selama ini ditakutkan bahwa AS menghadapi masalah integrasi nasional, apalagi di parlemen kubu Demokrat hanya menjadi mayoritas tipis sehingga dalam banyak hal membutuhkan dukungan kubu Republik.

Trump yang menjadi presiden keempat yang tak menghadiri seremoni pelantikan presiden terpilih karena berselisih dalam pemilu setelah presiden kedua John Adams, presiden keenam John Quincy Adams, dan presiden ke-17 Andrew Johnson yang adalah presiden pertama yang dimakzulkan, telah meninggalkan warisan masalah yang berat, berupa ancaman perpecahan dan polarisasi politik yang membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkannya.

Selama menduduki Gedung Putih, Trump berulang kali melanggar norma-norma demokrasi dengan tak malu mempromosikan kepentingan bisnisnya sendiri, mengintervensi Departemen Kehakiman yang di AS mesti didudukkan independen walaupun dipimpin oleh seorang menteri, menolak pengawasan parlemen, menghina hakim, melecehkan media dan tak mau mengakui kalah pemilu.

Sikap dia adalah wujud dari gugatannya terhadap rezim kemapanan dan kelembagaan politik Amerika sampai-sampai sumpah jabatan pun dianggapnya tak lebih dari basa basi yang tak perlu dihiraukan. Joe Biden mengoreksi sikap itu lewat pidato pelantikannya yang berikrar untuk selalu setia kepada konstitusi.

Kebohongan dan kebencian yang memuncak menjadi hasutan untuk merusuh Gedung Capitol 6 Januari lalu adalah ancaman yang bakal merongrong Biden, terlebih karena kedua hal itu sudah mengakar dalam-dalam di hampir separuh rakyat AS yang memilih Trump.

Dua hal itu juga menjadi salah satu fondasi untuk kecenderungan politik baru Trumpisme yang dibangun di atas gagasan menolak elite kemapanan, termasuk sistem dan konsensus nasional yang dihasilkannya.

Baca juga: Joe Biden dilantik sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat
Baca juga: Resmi dilantik, Presiden Biden bersumpah akhiri perpecahan di AS


Selanjutnya: Pembusukan politik

Copyright © ANTARA 2021