Köln, Jerman (ANTARA) - Eropa pada Rabu (27/1) mencabut larangan terbang Boeing 737 MAX setelah pesawat model tersebut menjalani perombakan menyangkut desain dan pelatihan pilot pascakecelakaan yang menewaskan 346 orang.

Otoritas keamanan penerbangan Eropa sebelumnya memberlakukan larangan terbang pada 737 MAX itu selama 22 bulan terakhir ini.

"Kami sangat yakin bahwa pesawat itu aman, yang merupakan prasyarat agar kami bisa memberikan persetujuan. Tapi kami akan terus memantau operasi 737 MAX dengan cermat saat pesawat kembali beroperasi," kata direktur eksekutif Badan Keamanan Penerbangan Uni Eropa (European Union Aviation Safety Agency/EASA), Patrick Ky, melalui pernyataan.

Badan pengatur penerbangan di seluruh dunia menghentikan izin terbang MAX pada Maret 2019 setelah pesawat buatan Boeing tersebut jatuh di Indonesia dan Ethiopia.

Amerika Serikat mencabut larangan terhadap MAX November tahun lalu, diikuti oleh Brazil dan Kanada.

Inggris, yang tidak lagi berada di EASA setelah memisahkan diri dari Uni Eropa, mengikuti jejak badan Eropa tersebut pada Rabu dengan mencabut larangan terbang pada 737 MAX.

Hasil serangkaian investigasi kecelakaan menunjukkan bahwa data buruk dari satu sensor yang salah telah memicu sistem perangkat lunak --yang hampir terdokumentasi-- berulang kali memerintahkan pesawat untuk menukik dan membuat kru pesawat kewalahan hingga pesawat-pesawat tersebut mengalami kecelakaan.

Boeing mengatakan data dari kedua sensor Angle of Attack pada MAX akan dilacak di pesawat yang dimodifikasi, bukan lagi hanya satu seperti pada masa lalu.

Namun, EASA telah menyarankan sistem sensor ketiga dipasang untuk bertindak sebagai penengah jika salah satu sensor utama gagal.

Saran tersebut, yang ditentang oleh Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat, memicu perselisihan peraturan mengenai apakah modifikasi yang ada akan memungkinkan pilot untuk mengatasi pemadaman sensor apa pun, atau apakah jaring pengaman lebih lanjut diperlukan.

Ky pada September tahun lalu mengatakan bahwa Boeing telah setuju untuk memasang sensor digital --yang setara dengan sensor ketiga-- pada versi berikutnya, 737 MAX 10, diikuti oleh retrofit pada model-model lain.

Namun dalam sebuah dokumen yang menyertai perintah pencabutan larangan terbang, EASA membatalkan proposal untuk penempatan sensor "sintetis" ketiga. Alasannya, Boeing telah menjanjikan cara-cara lain untuk mengamankan data.

Badan Eropa tersebut mengatakan Boeing telah setuju untuk mengembangkan perubahan lebih lanjut "dalam dua tahun" untuk meningkatkan pemantauan kesalahan dan memungkinkan pilot memilih data yang tepat dengan mudah.

Seorang juru bicara EASA mengatakan solusi yang sekarang sedang dipertimbangkan oleh Boeing berbeda dari sensor ketiga, tetapi "selaras secara luas".

Seorang juru bicara Boeing mengatakan, "Kami akan menangani semua persyaratan peraturan, kebutuhan teknis dan persyaratan pengujian."

Sumber: Reuters


Baca juga: Kanada cabut larangan penerbangan Boeing 737 MAX mulai 20 Januari

Baca juga: Boeing bersedia bayar Rp34,95 T asal bebas dari gugatan pidana

Penerjemah: Tia Mutiasari
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2021