Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi meminta negara-negara menghentikan politisasi dan nasionalisme vaksin, dan sebaliknya mendorong kerja sama multilateralisme untuk bersama-sama menangani pandemi COVID-19.

“Jadi tolong hentikan politisasi vaksin, hentikan nasionalisme vaksin. Kita harus mengingatkan diri kita bahwa vaksin adalah isu kemanusiaan, bukan isu politik,” tutur Retno dalam salah satu diskusi panel World Economic Forum (WEF), yang berlangsung secara virtual, Jumat.

Retno menyebut bahwa nasionalisme vaksin, yakni suatu kondisi ketika satu negara ingin mengamankan pasokan vaksin untuk kepentingan warganya sendiri, akan mengancam distribusi vaksin yang adil dan merata bagi seluruh negara di dunia.

Padahal, sebagai ketua bersama mekanisme COVAX AMC Engagement Group, Indonesia menekankan upaya multilateralisme untuk pemenuhan akses terhadap vaksin bagi 92 negara berpenghasilan menengah dan rendah yang tergabung di dalamnya.

“Akses yang adil dan merata terhadap vaksin untuk semua negara adalah isu penting. Hal ini tidak hanya penting bagi negara berkembang dan kurang berkembang, tetapi juga penting bagi negara maju dan dunia,” kata Retno.

Ia menggarisbawahi bahwa peran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui Fasilitas COVAX adalah kunci penanganan pandemi global, dan semangat kerja sama seperti yang ditunjukkan Aliansi Vaksin (GAVI) lewat komitmen penyediaan 2 miliar dosis vaksin bagi negara-negara yang membutuhkan, harus diapresiasi.

“Kita pulih lebih kuat, jika kita pulih bersama,” ujar Retno.

Kekhawatiran tentang meningkatnya nasionalisme vaksin juga disuarakan oleh Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono, yang turut berbicara dalam diskusi WEF.

“Kami melihat nasionalisme vaksin muncul dan para pemimpin dapat mengubah pandangan ‘ke dalam’ (inward looking) untuk menyelesaikan masalah domestiknya,” kata dia.

Baca juga: Survei: Mayoritas warga Inggris menolak "nasionalisme vaksin" COVID-19

Taro, yang bertugas menyediakan vaksin bagi 120 juta populasi Jepang khawatir tentang situasi saat ini terlebih ketika Uni Eropa (EU) mengatakan akan menutup ekspor vaksin hingga seluruh negara Eropa memilikinya.

“Dapat dimengerti untuk mengutamakan warga negaranya sendiri, tetapi kita hidup di planet yang sama dan rantai pasokan bersifat global. Jika kita mengganggu rantai pasokan dengan satu cara, itu dapat menyebabkan pembalasan,” kata Taro mengingatkan.

Menurut dia, sudah waktunya bagi para pemimpin negara untuk duduk bersama dan menghasilkan strategi vaksin global guna memastikan distribusi vaksin kepada negara-negara yang paling membutuhkan.

“Kita perlu memperoleh mekanisme multilateral untuk menyelesaikan masalah ini,” ujar dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan penolakan terhadap nasionalisme vaksin, saat dia mengatakan bahwa “negara-negara miskin harus menonton dan menunggu” sementara negara-negara kaya melakukan vaksinasi.

Menyoroti kesenjangan yang semakin melebar antara si miskin dan si kaya, Tedros mengingatkan bahwa dunia menghadapi “bencana kegagalan moral” jika tidak bekerja sama bagi kesetaraan vaksin.

Tedros mengutip sebagai contoh ketidaksetaraan bahwa lebih dari 39 juta dosis vaksin COVID telah diberikan di 49 negara berpenghasilan tinggi, sedangkan hanya 25 dosis telah diberikan di satu negara miskin.

Baca juga: Dirjen WHO: Nasionalisme vaksin buat dunia di ambang "bencana moral"

Baca juga: Politisasi dan nasionalisme vaksin COVID-19


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2021