Batam (ANTARA) - Pada sekitar 1990-an, Pulau Amat Belanda di Kota Batam Kepulauan Riau terkenal sebagai lokalisasi. "Pelanggannya" kebanyakan adalah warga negara asing yang sedang bekerja di sekitar, juga yang datang dari Singapura.

Pulau yang berdekatan dengan Pulau Belakangpadang itu juga dikenal sebagai Pulau Babi. Entah mengapa.

Lokasinya relatif dekat dengan Pulau Belakangpadang, di seberang Pulau Batam, dibalik Singapura. Mungkin bisa disebut strategis, di tengah-tengah kawasan industri galangan kapal yang tengah berkembang, kala itu.

Warga Pulau Amat Belanda, Ani bercerita, pada 1990-an lelaki hidung belang berdatangan mengunjungi rumah bordil yang berdiri di atas laut, dengan bilik-bilik kecil.

"Dulu itu ramai betul. Pulau ini ramai," kata Ani yang merantau ke Pulau Amat Belanda sejak tahun 1993.

Saking banyaknya warga asing yang menghabiskan duit di sana, warga Pulau Amat Belanda lebih banyak memegang mata uang dolar Singapura, ketimbang rupiah.

Ekonomi berputar. Ada yang berjualan makanan dan ada pula yang mengantar-jemput warga dan pelancong yang datang menggunakan kapal-kapal bermesin tempel, seperti yang dilakoni suami Ani.

Tapi itu dulu. Sejak 2000-an, pengunjung berkurang. Dan jumlahnya terus menurun dari tahun ke tahun. Apalagi memasuki pandemi COVID-19 di awal 2020 hingga kini. Perbatasan antarnegara ditutup, otomatis tidak ada lagi pengunjung dari Negara Jiran.

"Waktu itu, ekonomi jadi susah," kata Ani sambil membalik-balikkan rengkam, sejenis rumput laut yang baru saja diambil suaminya dari perairan sekitar. Rengkam, tumbuhan jenis alga coklat yang bernama latin Sargassum sp itu, belakangan menjadi burunan para nelayan karena memiliki nilai jual yang cukup lumayan setelah dikeringkan.

 
Warga Pulau Amat Belanda Hadidi mengumpulkan rengkam di Perairan Belakangpadang. Hasil rengkam yang dikumpulkan warga Pulau Amat Belanda sudah diekspor sebagai pakan ternak. (ANTARA/ Naim)


Rengkuhan rengkam

Warga Pulau Amat Belanda, Ncen (63) berdiri di atas kapal bermesin tempel. Suaminya duduk di ujung sambil mengemudikan perahu.

Dengan satu ayunan cepat, Ncen memasukkan kayu panjang ke laut dan mengangkatnya kembali. Rengkam yang basah, lengket dan amis tersangkut di batang kayu. Ncen menaruhnya di dalam perahu, bersama tumpukan rengkam yang lain.

"Saya baru turun ke laut, karena tadi cari agar-agar (rumput laut) dulu. Jadi terlambat," keluh perempuan yang sudah menjadi nenek itu.

Biasanya, Ncen turun ke laut bersama suaminya sekitar pukul 5.30 WIB. Tapi Jumat (19/2), ia baru melaut sekitar pukul 9.30 WIB.

Ia sekeluarga memutuskan untuk mencari rezeki dari rengkuhan rengkam sejak Oktober 2020. Ncen dan suami bertugas mencari sejenis rumput laut itu di laut, dan anaknya di bagian pengolahan, menggiling rengkam kering.

Dulu, perahu itu digunakan anaknya untuk melayani transportasi warga antar pulau. Namun, karena pandemi COVID-19, warga banyak berdiam di rumah, sehingga jasanya tidak lagi terpakai.

"Makanya saya pakai kapalnya," kata perantau asal Jawa Barat itu.

Hal serupa juga dilakukan Hadidi (50) yang terpaksa menggunakan kapalnya untuk mencari rengkam. Sebelum pandemi, ia mengantar jemput warga dan barang ke pulau-pulau menggunakan perahu itu.

"Sejak pandemi, sepi sekali. Jadi harus cari usaha lain," kata Hadidi, yang juga melaut ditemani istrinya. Beberapa pencari rengkam dari Pulau Amat Belanda memang sengaja ke laut berpasang-pasangan suami dan istri.

Siang itu, Hadidi tampak sumringah. Tumpukan rengkam menggunung di tengah kapal. Sedang sang istri sibuk mengeluarkan air dari dalam perahu menggunakan gayung kecil.

Sebenarnya penghasilan dari mengumpulkan rengkam tidak terlalu banyak. Masih lebih menguntungkan menyewakan kapal, mengangkut penumpang antarpulau.

Namun, jerat pandemi tidak memberikan banyak pilihan. Dan nampaknya mencari rengkam adalah jalan utama mendapatkan rupiah di saat ekonomi tidak menentu seperti saat ini.

"Sehari saya bisa dapat mengumpulkan 100 kg. Tapi tidak tentu juga, tergantung cuaca," kata dia.

Sekitar pukul 10.00 WIB hingga 11.00 WIB, saat air laut mulai pasang, para pencari rengkam kembali ke kediamannya di Pulau Amat Belanda. Mereka kemudian menjemurnya di tiang-tiang, dan juga sepanjang jalan.

Biasanya, setelah dua hari, rengkam benar-benar kering dan siap diolah untuk dijual ke pengumpul. Setiap kilogram rengkam kering dihargai Rp1.300.
Warga Pulau Amat Belanda Aprianti Kapur mengecek rengkam usai ditimbang. Hasil rengkam yang dikumpulkan warga Pulau Amat Belanda sudah diekspor sebagai pakan ternak. (ANTARA/ Naim)


Ekspor rengkam

Setelah dinilai kering, maka nelayan yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Pospera itu menjual rengkam ke "pabrik" yang juga berlokasi di Pulau Amat Belanda.

Di sana, sudah ada Aprianti Kapur, perempuan bersenyum manis yang siap melayani warga. Dengan sigap, ia akan menimbang rengkam yang sudah dikemas ke dalam karung-karung putih.

Apabila dinilai masih belum kering dan hancur, ia akan menggunakan mesin untuk mengolah rengkam.

"Saya yang bisa mengoperasikan alat ini. Karena harus cepat. Jiwa kita harus seirama dengan mesin," kata Aprianti.

Setelah terkumpul cukup banyak, tumpukan rengkam itu dibawa ke pengumpul di Jembatan II Barelang, untuk diekspor ke Vietnam sebagai pakan ternak bernilai jual tinggi.

Saat ini hampir seluruh warga Pulau Amat Belanda merupakan nelayan pengumpul rengkam.

Usaha baru warga itu mampu menghidupkan kembali ekonomi yang merosot sejak 2000-an, saat pengunjung lokalisasi berkurang.

Camat Belakangpadang, Yudi Admaji mengakui, setelah menjadi nelayan rengkam, ekonomi warga Pulau Amat Belanda membaik.

Namun, wilayah pencarian rengkam harus dibatasi, agar tidak mengganggu ekosistem perairan di sana.

"Awalnya hanya boleh di sekitar Pulau Amat Belanda saja, sekarang sudah maju. Tidak apa, tapi jangan sampai ke dekat pulau lain yang banyak kelong dan bubu warga," kata dia.

Rengkam merupakan tempat yang disukai ikan, sehingga tidak boleh dieksploitasi berlebihan.

Di sekitar Pulau Amat Belanda dan Pulau Belakangpadang, jumlah ikan relatif sedikit. Kuantitas rengkam pun melimpah hingga menjadi sampah bila tidak dimanfaatkan.

Sebaliknya, di perairan pulau-pulau sekitarnya, jumlah ikan banyak dan rengkam dibutuhkan sebagai tempat tinggal. Nelayan pun menggantungkan hidup dari perairan itu.

Untuk itu, pemerintah setempat harus bijak membagi-bagi pemanfaatan perairan. Mana tempat yang boleh untuk mengambil rengkam dan mana yang untuk ikan. Dengan demikian diharapkan tidak ada konflik di wilayah itu, kawasan itu dapat memiliki sentra budi daya rengkam yang dapat mensejahterakan masyarakat.

Baca juga: Memanfaatkan peluang "superfood" rumput laut demi ekonomi nasional
Baca juga: Menteri KKP: Riset benih unggul tingkatkan produksi budidaya perikanan
Baca juga: KKP bakal bangun sentra rumput laut di Indonesia bagian timur
​​​​​​​

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021