Johannesburg (ANTARA News) - Adalah pekerjaan yang tidak mudah untuk memperkenalkan seni bela diri pencak silat di Afrika Selatan, negara yang sama sekali masih buta tentang seni bela diri asli dari Melayu itu.

Umumnya masyarakat Afrika Selatan hanya mengenal olah raga bela diri seperti karate, taekwondo, judo dan wushu. Sementara negara itu sendiri atau bahkan benua Afrika tidak mempunyai seni bela diri khas mereka.

"Pencak Silat? Apa itu?," demikian umumnya jawaban yang diberikan saat dua pelatih Indonesia, Prihardjono S. Sastromartono dan Syahrowi saat memperkenal silat untuk pertama kali di Johannesburg, beberapa bulan lalu.

Lidah mereka harus dilatih dulu agar bisa dengan fasih mengucapkan kata "pencak silat" karena bagi kata itu bagi mereka terdengar aneh dan mirip kata "pencake" (panekuk).

Prihardjono, pria kelahiran Jakarta 3 Desember 1963 yang lebih dikenal dengan sebutan Kak Jojo, mengawali tugasnya sebagai pelatih sejak Januari 2010 lalu di sekolah Muslim di kawasan Bosmont, Johannesburg.

Kesulitan melatih seorang diri karena harus lawan tanding untuk peragaan, maka didatangkanlah seorang pelatih lagi, yaitu Syahrowi, anak muda kelahiran Jakarta 21 Juni 1981.

Jojo dan Awi (panggilan Syahrowi), sama-sama berasal dari perguruan silat Al Azhar Jakarta.

Pada saat kedatangannya, Jojo harus menghadapi banyak pertanyaan mengenai apa itu pencak silat dan apa beda seni bela diri tersebut dengan karate dan taekwondo.

"Mereka sangat kritis dan tidak mau menerima begitu saja apa yang disampaikan sebelum betul-betul melihat buktinya," kata Jojo saat mengundang 200 warga Bosmont untuk membuka pendaftaran belajar silat.

"Setelah saya berhasil membanting seorang pria berkulit hitam dengan tinggi badan hampir dua meter dan berat lebih dari 90kg, barulah mereka kemudian percaya. Mungkin mereka tidak percaya setelah melihat badan saya yang kecil," kata Jojo yang mempunyai tinggi badan 165cm dan berat 57kg.

Sampai saat ini, Jojo dan Awi secara rutin melatih sekitar 250 orang yang berusia antara sampai 27 tahun di Sekolah Muslim Bosmont dan Pesantren Darul Uloom.

"Target saya dalam dua tahun, bisa mencetak pelatih lokal sekitar 20 orang dan target lainnya, pencak silat pada 2016 sudah membentuk perguruan pencak silat di sepuluh negara Afrika," kata Jojo.

Afrika Selatan memang dijadikan pusat pendidikan dan latihan pesilat dari berbagai negara Afrika dengan pusat di Pesantren Darul Ulooom.

"Mereka yang sekarang belajar di Darul Uloom, diharapkan nanti bisa menyebarkan silat ketika mereka kembali ke negara mereka masing-masing," kata Jojo yang harus meninggalkan istri Yessy Yusvita dan dua anak, Andaru Nafikurahman (9 tahun) dan Conita Rahmadani (3) di Jakarta.

Sementara itu Awi, yang sekarang masih lajang, menceritakan pengalamannya bagaimana ia sering ditantang oleh mereka yang masih ragu dengan kemampuannya.

Seperti halnya Jojo, Awi pun berhasil membuktikan ketika dengan gerakan dan jurus silat bisa melumpuhkan seorang pria bertubuh tinggi besar.

"Kita ibarat berjualan, mereka ingin tahu dulu produknya dan setelah terbukti benar seperti yang dipromosikan, barulah mereka mau bergabung," kata Awi yang akan segera menikah dalam waktu dekat.

Untuk tahap pertama, Jojo dan Awi hanya mengajarkan kepada mereka dasar-dasar pencak silat dengan penekanan kepada langkah, bela diri dan sikap pasang.

"Mereka belum diajarkan untuk tanding karena kalau langsung diajarkan untuk tanding, nilai-nilai gerakan silat bisa hilang karena gerakan bela diri yang mereka kenal selama ini cenderung gerakan yang kaku," kata Jojo yang sudah menekui profesi pelatih sejak 1980.

Menurut Jojo dan Awi, terdapat perkembangan yang menggembirakan karena sekarang ini murid-murid mereka sudah bisa memahami perbedaan silat dengan bela diri lain.

"Tapi sekarang mereka sudah bisa menilai keunikan pencak silat yang juga mempunyai nilai seni, tidak semata bela diri seperti karate dan taekwondo karena pertunjukan silat sering diiringi musik," kata Jojo.

Satu-satunya kendala yang dihadapi dalam melatih adalah masalah transportasi karena di Johannesburg tidak ada transportasi umum yang aman, apalagi jika latihan malam hari.

Akibatnya, murid-murid yang akan mengikuti latihan sangat tergantung kepada orang tua mereka untuk mengantarkan di tempat latihan karena tidak ada yang berani membiarkan anaknya pergi sendiri dengan kendaraan umum.
(T.A032/P003)

Oleh Oleh Atman Ahdiat
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010