Kalau bauran energi fosilnya masih banyak sekali, bagaimana mau menuju nol gas rumah kaca (GRK)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat energi yang juga Anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 Kurtubi mengatakan bahwa Pengesahan Rancangan Undang Undang tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi undang-undang akan menarik investasi sektor EBT ke Indonesia.

“RUU EBT yang sekarang sedang dibahas di DPR supaya lebih cepat diketok palu lebih bagus. Masalahnya sudah clear, sudah jelas kalau kita bangsa Indonesia ini bagian dari masyarakat dunia dan kita sudah meratifikasi Paris Agreement, jadi ini satu kewajiban yang tidak bisa kita elakan,” kata Kurtubi dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.

Kurtubi menyatakan, investasi sektor EBT dapat berjalan secara terintegrasi, baik, dan penuh kepastian bila payung hukumnya telah terbentuk, yakni berupa UU RBT.

Untuk itu, Kurtubi mendorong DPR dan pemerintah untuk lebih cepat ketok palu dalam mengesahkan RUU EBT tersebut.

Menurut Kurtubi, tidak ada perdebatan terkait energi terbarukan, di antaranya energi yang dihasilkan dari tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air.

Namun, masih terdapat beberapa perdebatan terkait EBT di tanah air, di mana salah satunya yakni penggunaan energi nuklir sebagai salah satu energi baru di Indonesia.

Untuk itu, Kurtubi berharap agar pihak-pihak yang masih memperdebatkan pembangunan tenaga nuklir di Indonesia agar mulai terbuka terhadap energi nuklir.

Baca juga: Energi baru terbarukan limbah sawit bagi mitigasi perubahan iklim
Baca juga: Perempuan dinilai berperan besar dalam transisi energi


Pasalnya, energi nuklir merupakan energi terbarukan yang bersih dan mampu menghasilkan tenaga listrik yang kuat dan stabil, di mana hal tersebut sangat dibutuhkan oleh industri di Indonesia.

“Jika Indonesia ingin menjadi negara maju, maka dibutuhkan industrialisasi. Industrinya harus maju. Proses industri adalah bagaimana mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi dan barang jadi. Nah, proses itu membutuhkan listrik,” papar Kurtubi.

Dosen Magister Universitas Indonesia itu mengatakan, proses pengolahan pada industri membutuhkan listrik yang kuat selama 24 jam. Sehingga, dibutuhkan perencanaan yang baik antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM dalam hal ini.

“Intinya, karena kita mau jadi negara maju, maka harus benar-benar dibangun listrik untuk industri di seluruh tanah air, bukan hanya di Jawa,” ujar Kurtubi.

Hal lain yang juga dibutuhkan untuk menarik investasi sektor EBT yakni meningkatkan bauran energi yang dicapai hingga 2050. Pasalnya, RI menempatkan peran energi fosil pada 2050 sebesar 69 persen dan EBT sebesar 31 persen.

“Kalau bauran energi fosilnya masih banyak sekali, bagaimana mau menuju nol gas rumah kaca (GRK). Itu tidak akan bisa dicapai jika 2050 bahkan energi fosil masih 69 persen,” tukas Kurtubi.

Jikalau bauran EBT dapat semakin meningkat pada 2050, maka calon investor kemungkinan besar akan melirik Indonesia sebagai negara yang menarik untuk menanamkan investasi di sektor EBT.

“Nah itu investor nanti akan melihat Indonesia akan besar ini EBT-nya di 2050. Sehingga investor ramai-ramai masuk Indonesia,” pungkas Kurtubi.

Baca juga: Kementerian ESDM: Pemerintah jadikan listrik surya penopang bauran EBT
Baca juga: Kombinasi energi baru terbarukan dapat meningkatkan efisiensi listrik


Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Apep Suhendar
Copyright © ANTARA 2021