Jakarta (ANTARA) -
Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengkritisi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan gugatan Pasal 173 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
 
MK beralasan bahwa putusan MK No 53/PUU-XV/2017 telah dinyatakan bahwa frasa telah ditetapkan sudah dinyatakan batal karena bertentangan dengan UUD 45.
 
Ray Rangkuti, di Jakarta, Kamis, berpendapat putusan No 53/PUU-XV/2017 seperti dikoreksi oleh MK sendiri, dengan membuat dua kategori verifikasi, administrasi dan faktual.
 
"Padahal, dua pembedaan ini juga pernah ditolak oleh MK sebelumnya. Sebab, cara seperti ini tidak memberi rasa adil bagi seluruh peserta pemilu. Faktor inilah yang menyebabkan MK memutuskan membatalkan pasal keistimewaan partai-partai lolos DPR," katanya.
 
Namun dengan keputusan terbaru ini, kata Ray, hakekatnya MK tidak sedang menguji satu UU dengan UUD 45.
Tapi MK tengah menguji putusannya sendiri yang sebelumnya pernah dikeluarkan. Dan putusan itu adalah membatalkan putusan MK yang sebelumnya, sehingga menjadi hal yang aneh.
 
"Dari mana MK memperoleh kewenangan membatalkan sendiri keputusan yang telah mereka buat, sekalipun melalui mekanisme uji materi baru dari pihak pemohon," ujarnya.
 
Dia mengungkapkan, tidak ada kejelasan alasan atau argumen MK membatalkan putusan mereka yang sebelumnya.
 
"Apakah karena dirasa putusan yang sebelumnya memiliki kekurangan, ketidaktepatan, atau kecatatan, dan sebagainya. Sejatinya, MK menerangkan, pembatalan putusan sebelumnya diterangkan dengan jelas dalam pertimbangan," papar Ray.
 
Sementara itu, terkait soal pembagian verifikasi administrasi dan faktual bersama kategori lolos parliamentary treshold (ambang batas parlemen) dan tidak serta partai baru.
 
"Uniknya, semua parpol, apapun status keberadaannya, tetap wajib diverifikasi administratif. Hal ini seolah membuat kategori bahwa verifikasi adimistratif itu wajib, faktual itu Sunnah. Entah dari mana dasar pertimbangan hal itu dibuat," ucapnya.
 
Dengan pertimbangan tersebut, dia mengatakan, putusan MK ini justru menimbulkan ketidakpastian aturan karena MK sendiri bisa membatalkan keputusan yang mereka telah tetapkan sebelumnya. Padahal, tidak ada norma baru di dalamnya.
 
"Kemudian menambah jurang ketidakadilan bagi calon peserta pemilu. Satu begitu diistimewakan, yang lain disulitkan," demikian Ray Rangkuti.
 
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan gugatan Pasal 173 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu.
 
Putusan itu merupakan perkara dari uji materi UU Pemilu yang diajukan oleh Partai Garuda dan diwakili Ketua DPP Ahmad Ridha serta Sekjen Abdulllah Mansuri. Partai Garuda meminta parpol yang sudah dinyatakan lulus verifikasi pada Pemilu 2019 tak perlu diverifikasi ulang untuk pemilu selanjutnya.
 
"Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman di persidangan MK, Jakarta, Selasa, (4/5).
 
MK memutuskan partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos memenuhi ketentuan ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi. Namun, tidak diverifikasi secara faktual.
 
"Sepanjang tidak dimaknai bahwa partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos atau memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi dan tidak diverifikasi faktual," ucap Anwar.
 
Selain itu, partai politik yang tidak lolos atau tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota, dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan faktual.
 
"Hal tersebut sama halnya dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru," ucap Anwar.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021