Jakarta (ANTARA) - Laut Natuna Utara, atau dahulu lebih dikenal di Indonesia sebagai Laut China Selatan, memang menyimpan banyak permasalahan sejak era kuno.

Salah satu sosok kontroversi yang dikenal pada abad ke-18 di kawasan tersebut adalah Ching Shih, bajak laut wanita dari China yang meneror lautan pada awal abad ke-19.

Berdasarkan data dari laman ensiklopedia dunia maya Wikipedia, Ching Shih yang berasal dari daerah Kanton itu masuk menjadi bajak laut setelah menikahi Zheng Yi, pembajak terkenal pada zaman tersebut.

Pernikahan pada tahun 1801, atau ketika Ching Shih berusia sekitar 26 tahun, membuat dirinya juga ikut terlibat dalam operasi bajak laut. Bahkan, ketika Zheng Yi meninggal tiba-tiba pada tahun 1807, Ching Shih didaulat menjadi pengganti suaminya sebagai pucuk pimpinan pembajak.

Ching Shih kemudian menjadi ketua tidak resmi dari Konfederasi Bajak Laut Guangdong, yang memiliki armada sekitar 400 kapal dan sekitar 50.000 orang yang merupakan pembajak.


Dalam operasinya, bajak laut pimpinan Ching Shih kerap berhadapan dengan kekuatan besar pada kala itu, seperti Kekaisaran Qing, Imperium Portugis, dan Perusahaan Dagang Hindia Timur Britania atau EIC. Ia mengakhiri kariernya pada 1810 dengan menerima tawaran amnesti dari Kekaisaran Qing dan wafat 34 tahun kemudian di Guangdong, China.

Setelah era bajak laut yang marak pada abad ke-19 berakhir, bukan berarti Laut Natuna Utara kemudian menjadi kawasan perairan yang selalu tentram tanpa ada permasalahan.

Bahkan, pada saat tahun 2021 sekarang ini, Laut Natuna Utara juga kerap dimasuki oleh kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ilegal di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Terakhir, pada 6 Mei lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap dua kapal ikan asing berbendera Vietnam yang sedang melakukan pencurian ikan di Laut Natuna Utara yang merupakan kawasan perairan Republik Indonesia.

Plt Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Antam Novambar mengonfirasi bahwa dua kapal ikan asing ilegal itu berasal dari Vietnam, yaitu TG 92536 TS dan TV 93020 TS.

Penangkapan dilakukan oleh Kapal Pengawas Hiu Macan 01 setelah kedua kapal berbendera Vietnam itu awalnya berupaya kabur dengan kecepatan tinggi, tetapi berhasil dilumpuhkan KKP.

Antam memastikan bahwa kedua kapal ikan asing ilegal tersebut akan diproses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pihaknya juga kembali menegaskan tidak akan berkompromi terhadap para pencuri ikan dan perusak sumber daya kelautan dan perikanan.

Berdasarkan data KKP, kapal pelaku IUUF (penangkapan ikan ilegal) yang ditangkap di perairan Laut Natuna Utara secara berturut-turut adalah 83 kapal pada 2016, 75 kapal pada 2017, 50 kapal pada 2018, 27 kapal pada 2019, 24 kapal pada 2020, dan 2021 ini (sampai 30 April) ada 8 kapal ikan yang ditangkap.

Optimalkan armada

Sementara itu, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada KKP Pung Nugroho Saksono, yang akrab dipanggil Ipunk, dalam acara Podcast PSDKP mengemukakan bahwa belum optimalnya jumlah armada kapal penangkapan ikan dari Republik Indonesia di Laut Natuna Utara mengakibatkan banyak kapal ikan asing masuk ke kawasan perairan tersebut.

Presiden Joko Widodo telah menginginkan agar kekosongan tersebut dapat diisi, tetapi program relokasi nelayan ke Natuna masih mendapatkan resistensi antara lain dari nelayan setempat yang tidak sepakat dengan masuknya nelayan dari daerah lain, padahal perlu disadari bahwa lautan adalah elemen yang mempersatukan bangsa ini.

Selain itu, ujar dia, banyaknya kapal Vietnam yang melakukan penangkapan ikan ilegal di sana antara lain karena belum ada kesepakatan batas wilayah perairan yang diakui secara bersama-sama antara kedua negara. Hal tersebut dapat dilihat dari kerap ditemukan kapal penjaga pantai dari Vietnam yang berada di Laut Natuna Utara sedang menjaga nelayan Vietnam untuk menangkap ikan di sana.

Untuk memberdayakan sumber daya laut Natuna, KKP juga telah memiliki program dalam pemberdayaan sektor kelautan dan perikanan di berbagai daerah pulau kecil terluar yaitu dengan membangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT).

Namun, SKPT di Natuna dinilai masih belum optimal karena masih baru dalam pengembangannya dan industrinya belum terlalu berjalan sehingga perlu terus-menerus untuk didorong.

Ipunk mengungkapkan bahwa kapal ikan asing yang ditangkap di Natuna dalam muatannya kerap ditemukan sejumlah komoditas tertentu seperti cumi dalam beragam ukuran.

Selain itu, ujar dia, kapal ikan asing seperti Vietnam di Laut Natuna Utara juga ditemukan menggunakan alat tangkap trawl yang akan merusak dasar lautan dan ekosistem perairan khususnya terumbu karang yang penting bagi ekosistem ikan.

Baca juga: Dirjen KKP: Ikan kerapu dari Natuna idola ekspor saat pandemi

Senada, Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Andreas Aditya kepada media mengungkap bahwa berdasarkan citra satelit, kapal-kapal Vietnam mencuri sumber daya alam perikanan Indonesia di perairan Natuna Utara dengan menggunakan alat tangkap pair trawl atau pukat yang bisa merusak biota laut.

Andreas mengatakan pusat kegiatan pencurian ikan yang diduga kuat dilakukan oleh kapal Vietnam terjadi di koordinat 5 hingga 6 derajat Lintang Utara dan 105 hingga 109 derajat Bujur Timur dengan luas area kurang lebih 100 ribu kilometer persegi.

Ia juga mengingatkan bahwa kapal ikan Vietnam lebih banyak berada di wilayah ZEE Indonesia dan beberapa kali memasuki wilayah perairan Indonesia dengan melintasi garis landas kontinen.

Peran Kemenko Marves
​​​​​​​

​​​Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan menginginkan agar Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi memimpin secara langsung penanganan kawasan Laut Natuna Utara karena memiliki banyak persoalan yang bukan hanya pencurian ikan, tetapi juga terkait sektor migas dan pariwisata.

Penting pula mencari akar masalah mengapa IUU Fishing atau penangkapan ikan oleh kapal ikan tetangga masih marak padahal pembahasan batas wilayah laut belum tuntas sehingga perlu pula ada penanganan penegakan hukum yang mesti diikuti dengan langkah diplomasi serta perundingan batas wilayah agar masalahnya benar-benar tuntas.

Abdi mewanti-wanti agar jangan sampai pergerakan kapal ikan asing yang masuk ke Natuna merupakan hal yang disengaja untuk provokasi Indonesia masuk dan terlibat dalam pusaran konflik.

Baca juga: Kemenko Kemaritiman perlu pimpin penanganan Laut Natuna Utara

Terkait dengan program memaksimalkan pengelolaan sumber daya Laut Natuna Utara, maka esensial untuk dilakukan perancangan ulang yang melibatkan warga setempat sehingga strategi pembangunan di Natuna juga menjadi kajian yang terpadu dan holistik.

Senada, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim berpendapat bahwa program relokasi itu seharusnya tidak dipaksakan.

Abdul Halim menegaskan bahwa perlu memprioritaskan nelayan setempat serta peta jalan yang jelas untuk pengelolaan sumber daya laut di kawasan perairan Natuna. Dengan demikian, maka pemberdayaan sumber daya Natuna betul-betul optimal untuk kebermanfaatan kalangan rakyat Indonesia, khususnya di Natuna.

Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021