Jakarta (ANTARA) - Peneliti karbon dan perubahan iklim dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Nisa Novita menegaskan pentingnya ekosistem mangrove atau bakau sebagai usaha pengurangan emisi gas rumah kaca untuk mitigasi perubahan iklim.

"Mangrove menyimpan 90 persen karbonnya di dalam tanah. Kalau kita membicarakan perubahan iklim atau mitigasi perubahan iklim, pasti berhubungan dengan berapa kemampuan ekosistem," kata Nisa dalam diskusi virtual yang dipantau dari Jakarta, Jumat.

Baca juga: DPR minta KLHK realokasi anggaran jadi kegiatan rehabilitasi hutan

Baca juga: Menteri Trenggono ingin masyarakat galakkan restorasi karang-mangrove


Nisa menjelaskan kemampuan mangrove untuk menyimpan karbon tidak hanya dibatasi pada vegetasi yang berada di atasnya, tapi juga kemampuan untuk menyimpannya di lapisan tanahnya.

Karena itu, ketika terjadi perusakan ekosistem mangrove, tidak hanya kemampuan vegetasinya untuk menyerap karbon yang akan hilang, tapi juga tanah yang ada di bawahnya.

"Misalnya, mangrove kita rusak, atasnya hilang tapi bawahnya di tanah akan terus selalu menghasilkan CO2 melalui proses dekomposisi tanahnya," paparnya.

Karena itu, dia menegaskan pentingnya mencegah deforestasi tidak hanya tutupan hutan yang berada di lahan mineral, tapi juga ekosistem payau tempat mangrove berada.

Indonesia saat ini memiliki sekitar 3,31 juta hektare (ha) luas mangrove atau 21 persen dari keberadaan mangrove dunia, menurut pemetaan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan berbagai lembaga pemerintah pada 2020. Namun, sekitar 1,82 juta ha mangrove kini dalam kondisi rusak.

Pemerintah lewat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menargetkan rehabilitasi mangrove di lahan seluas 600 ribu ha yang ada di sembilan provinsi dalam beberapa tahun ke depan.

Baca juga: BRGM: Generasi muda mitra penting restorasi gambut dan mangrove

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021