Jakarta (ANTARA) - Organisasi negara-negara produsen minyak kelapa sawit, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) mendesak Uni Eropa (EU) untuk menggunakan kebijakan non-diskriminatif dan melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan atas minyak nabati sebagai bahan bakar hayati atau ‘biofuel' di bawah kerangka Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive II).

 

Dalam keterangan tertulis CPOPC yang diterima di Jakarta, Jumat, dikatakan bahwa desakan tersebut disampaikan sehubungan degan rencana revisi arahan yang diharapkan akan dilakukan pada 14 Juli mendatang, bersamaan dengan tenggat waktu yang semakin dekat bagi Komisi EU untuk melaksanakan aturan mengenai sertifikasi Konversi Penggunaan Lahan Tak Langsung atau ILUC untuk risiko bahan bakar hayati dan pemutakhiran daftar bahan baku berisiko tinggi dengan komponen ILUC.

 

CPOPC meyakini bahwa penggunaan ILUC sebagai alat kebijakan dinilai bermasalah sejak awal, terutama dari sisi metodologi, dan dinilai tidak tepat, sehingga dibutuhkan pendekatan baru yang memperlakukan semua minyak nabati berkelanjutan secara setara, berdasarkan praktik produksi yang terverifikasi dan bukan berdasarkan jenis komoditasnya.

 

“Minyak sawit sering dianggap sebagai penyebab kerusakan lingkungan berdasarkan sebuah studi perbandingan yang menggunakan jangka waktu tahun 2008 -2016 sebagai bentuk ukuran untuk ILUC. Tenggat waktu ini mendiskriminasi negara-negara yang terlambat dalam proses pembangunan yang selama periode tersebut terbentur dengan aturan Perubahan Penggunaan Lahan,” papar CPOPC.

 

Selain terkait metodologi tersebut, CPOPC juga menyoroti penelitian ilmiah yang telah menunjukkan bahwa minyak sawit memiliki efisiensi energi empat kali lipat lebih dari minyak rapa atau kedelai, dan jika penelitian tersebut diterapkan pada analisis EU mengenai penggunaan lahan minya nabati, maka minyak sawit akan keluar sebagai tanaman yang paling efisien untuk energi terbarukan.

 

Adapun negara-negara produsen minyak sawit, terutama Indonesia dan Malaysia, yang sama-sama memiliki kepentingan dalam program bahan bakar hayati di EU telah menunjukkan komitmen dan tindakan nyata terhadap keberlanjutan produksi minyak sawit.

 

Indonesia telah memberlakukan moratorium untuk pembukaan lahan baru kelapa sawit, sementara Malaysia telah menetapkan pembatasan total luas areal budidaya kelapa sawit sebesar 6,5 juta hektar.

Baca juga: Kementan: Sertifikasi ISPO sejalan dengan tujuan SDGs

Baca juga: Indonesia gaungkan sertifikat ISPO promosikan sawit di internasional


 

“Penurunan drastis dari kebakaran hutan dan deforestasi di Indonesia juga harus mendapatkan pengakuan internasional,” tambah CPOPC, yang juga mengatakan bahwa program sertifikasi nasional seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) telah berperan besar dalam membangun keberlanjutan produksi minyak sawit.

 

CPOPC pun menyampaikan apresiasi terkait pengelolaan penggunaan lahan yang lebih baik oleh kedua negara dan upaya yang dilakukan melalui pengelolaan berkelanjutan atas semua sumber daya alam serta dampak positif industri minyak kelapa sawit bagi jutaan petani yang telah dapat keluar dari kemiskinan.

 

Lebih lanjut, CPOPC menyatakan bahwa pihaknya menantikan kelanjutan Kelompok Kerja Bersama EU dan ASEAN terkait minyak nabati yang berkelanjutan, di mana pendekatan menyeluruh dan non-diskriminatif terhadap minyak nabati dapat dikembangkan untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

 

Organisasi tersebut menegaskan bahwa ambisi global untuk mengurangi karbon menjadi salah satu tindakan yang sangat mendesak dan bahan bakar hayati adalah alat yang dibutuhkan dalam memerangi perubahan iklim tanpa mengganggu ekonomi global.


Baca juga: Otoritas Denmark masih kecualikan vaksin COVID-19 AstraZeneca dan J&J

Baca juga: Antibodi dari vaksin COVID China kurang efektif melawan varian Delta


Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2021