Jakarta (ANTARA) - Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menawarkan strategi perdamaian global model NU di International Religious Freedom (IRF) Summit di Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (15/7).

Gagasan itu disampaikan Gus Yahya, sapaan akrabnya,  dalam pidato berjudul "The Rising Tide of Religious Nationalism” (Pasang Naik Nasionalisme Religius), demikian dikutip dari siaran pers di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: Sebanyak 25 tokoh agama dan politik AS dukung Seruan Masjid Muhammad

Baca juga: Kecam ekstremisme, Menlu AS sebut Indonesia contoh harmonis beragama

Menurut Gus Yahya, fenomena bangkitnya nasionalisme religius adalah bagian mekanisme pertahanan ketika suatu kelompok agama yang biasanya merupakan mayoritas di negaranya merasa terancam secara budaya.

Kebangkitan ini pun, lanjut dia, tak terelakkan lantaran dunia tengah bergulat dalam persaingan antarnilai untuk menentukan corak peradaban di masa depan.

Di sisi lain, katanya, dinamika internasional telah mengarah pada perwujudan satu peradaban global yang tunggal dan saling berbaur.

"Persaingan yang sengit ini berpotensi besar memicu permusuhan dan kekerasan," ujar Gus Yahya.

Oleh karena itu, Gus Yahya mendorong berbagai elemen di dunia menemukan cara untuk mengelolanya sebelum telanjur meletus konflik global yang kian parah.

Untuk mengatasi hal itu, Gus Yahya menawarkan strategi dan model perdamaian dunia sebagaimana yang selama ini telah dipraktikkan oleh kalangan NU.

Dalam kesempatan itu, juru bicara era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjelaskan, sebelum mewujudkan kedamaian global, harus diidentifikasi lebih dahulu nilai-nilai apa yang selama ini telah menjadi kesepakatan bersama.

"Saya bisa sebut nilai-nilai kejujuran, kasih-sayang dan keadilan, adalah nilai-nilai yang pasti kita sepakati secara universal," ujarnya.

Selanjutnya, jelas Gus Yahya, dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang perlu disepakati agar semua pihak yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai. Bahkan bila diperlukan, nilai-nilai tradisional yang menghambat koeksistensi damai pun layak untuk diubah.

Untuk memperjelas solusi yang dia tawarkan tersebut, Katib Aam PBNU mencontohkan strategi NU yang menyatakan bahwa kategori kafir tidak memiliki relevansi hukum dalam konteks negara bangsa modern. Hal ini sangat beralasan sebab setiap warga negara sejatinya harus setara di depan hukum. Sikap NU tersebut merupakan hasil Munas Alim Ulama di Kota Banjar pada 2019.

"Dengan pendekatan ini maka adanya perbedaan-perbedaan keyakinan mengenai nilai-nilai yang tersisa harus disikapi dengan toleran," kata Gus Yahya yang mantan anggota Wantimpres ini.

Pernyataan Gus Yahya itu mendapatkan apresiasi tinggi dari tokoh-tokoh perdamaian global yang mengikuti konferensi tingkat tinggi tersebut.

Para peserta IRF Summit bertepuk tangan beberapa kali atas pandangan dan tawaran solusi perdamaian global yang disampaikan Gus Yahya.

Duta Besar AS untuk Kebebasan Beragama Internasional  Sam Brownback dalam sambutannya sebagai pemrakarsa dan penanggung jawab KTT tersebut bahkan secara khusus memuji langkah-langkah bersejarah yang telah diambil oleh NU.

"Dunia sungguh membutuhkan peran Nahdlatul Ulama demi masa depan peradaban yang lebih harmonis," tegasnya.

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2021