Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan tiga pendekatan untuk menilai efektivitas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Indonesia.

"PPKM Darurat sudah sejak 3 Juli 2021, dan data awal pada hari itu adalah 27.913 kasus baru, angka kepositifan atau 'positivity rate' 25,15 persen dan 493 orang wafat. Sudah lebih sepuluh hari berjalan, angkanya melonjak cukup tajam dan beberapa bahkan menembus semacam 'batas psikologis'," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Tjandra mengatakan angka penularan SAR-CoV-2 penyebab COVID-19 masih relatif besar. Pada Rabu (14/7) untuk pertama kalinya angka kasus baru menembus 54.517. Lalu angka kepositifan juga menembus 31,5 persen.

Baca juga: Hadapi badai COVID-19 perlu upaya maksimal bukan lagi optimal

Baca juga: Pemerintah dan ormas Islam sepakati Takbir Akbar Nasional Virtual


"Padahal, ini menunjukkan besarnya penularan di masyarakat atau 'community transmission', dan angka di atas 30 persen ini menetap dalam tiga hari berturut-turut," katanya.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu mengemukakan ada tiga pendekatan, yaitu epidemiologi, sistem surveilans dan sistem pelayanan kesehatan untuk menilai efektivitas PPKM Darurat.

Pertama, untuk kriteria epidemiologi setidaknya ada dua parameter yang dapat dipilih, yaitu jumlah kasus baru dan angka kepositifan. "Untuk evaluasi PPKM Darurat dapat saja dipilih kalau angka kasus baru per hari sudah lebih rendah dari jumlah tertentu, katakanlah di bawah 10.000 per hari," katanya.

Sebagai ilustrasi, kata Tjandra, Malaysia juga menerapkan kebijakan 'Movement Control Order (MCO)' yang menggunakan patokan bahwa kalau kasus baru per hari di bawah 4.000, maka kebijakan dapat dilonggarkan.

Tjandra mengatakan parameter selanjutnya adalah angka kepositifan. "Untuk ini memang sebaiknya dipakai patokan 5 persen agar menjamin penularan di masyarakat sudah rendah. Apalagi, banyak negara tetangga Indonesia, termasuk India, angkanya 2 persen atau 3 persen, kecuali negara tertentu," katanya.

Metode kedua, kata Tjandra, terkait kriteria surveilans kesehatan masyarakat, yakni jumlah tes yang dilakukan harus terus dinaikkan dengan amat tinggi, dan kegiatan dilanjutkan dengan telusur yang masif.

"Kalau India sudah berhasil melakukan tes pada sekitar 2 juta orang  per hari, dengan penduduk kita yang sekitar seperempat penduduk India, target melakukan tes sampai 500 ribu sehari patut dikejar untuk dicapai," katanya.

Baca juga: Denda pelanggar PPKM darurat di Indramayu capai Rp600 juta lebih

Cara ketiga, kata Tjandra, untuk kriteria sistem pelayanan kesehatan dalam evaluasi PPKM Darurat dapat dilihat dari keterisian tempat tidur rumah sakit.

"Harus diingat bahwa angka BOR bisa fluktuatif, tergantung berapa banyak tempat tidur untuk pasien COVID-19, sehingga kadang-kadang membaca angka BOR perlu secara kritis. Selama hari-hari tingginya pasien COVID-19 sekarang ini, bukan hanya ruang rawat rumah sakit yang penuh tapi Instalasi Gawat Darurat (IGD)-nya juga penuh dan orang terpaksa antre masuk IGD, bukan lagi antre masuk rumah sakit," katanya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021