Solo (ANTARA) -
Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, menyatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang digagas sejak 2012 hendaknya menjadi komitmen semua pihak, terutama para legislator untuk segera membahas dan menyetujuinya menjadi undang-undang.

"Oleh karena itu, kami harapkan pembahasan RUU PKS yang kini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 merupakan babak akhir untuk menjawab penantian panjang publik akan adanya undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak di negeri ini," katanya, di Jakarta, Rabu. 

Ia menyatakan itu pada diskusi bertajuk "Mengawal RUU PKS Dalam Prolegnas 2021" yang digelar secara daring Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Negara bertanggung jawab hapus kekerasan seksual

Ia mengatakan perjalanan panjang RUU PKS itu menimbulkan banyak tafsir dan pertanyaan, baik terkait teknis maupun substansi RUU itu. Meski demikian, kata dia, kondisi itu suatu dinamika politik yang wajar.

"Dan kini saatnya bagi kita semua untuk menyatukan persepsi dan memantapkan tekad guna menjadikan RUU itu sebagai hukum positif di Indonesia. Adanya RUU PKS ini merupakan bagian dari tanggung jawab Negara untuk menangkal terjadinya kekerasan seksual di negeri ini. Proses pembahasan RUU itu perlu dikawal agar berjalan lancar sehingga dapat segera disahkan menjadi UU dalam tahun ini," kata dia.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Penghapusan kekerasan perempuan perlu strategi tepat

Sementara itu, upaya untuk membangun kesamaan persepsi harus terus dilakukan secara konsisten bahwa perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual merupakan tanggung jawab bersama, termasuk tanggung jawab semua kekuatan sosial politik.

"'Political will' saja tidak cukup. Perlu perubahan yang radikal dalam pola pikir dan pola pandang untuk meniadakan bias gender yang dapat mengganjal proses pembahasan RUU itu," katanya.

Pembicara lain, anggota DPR, Taufik Basari, yang mengatakan, dalam empat kali rapat dengar pendapat umum Panja RUU PKS dengan berbagai mitra kerja, permasalahan terbesar yang muncul adalah kekeliruan paradigma berpikir serta kesalahpahaman dalam melihat RUU itu.

Baca juga: Sahroni: RUU PKS sekuat tenaga kita dorong demi perempuan Indonesia

"Kami harus membersihkan diri dari kubang kesalahpahaman itu agar RUU ini tidak menjadi korban dari pertarungan berbagai pemikiran dan tuduhan tak berdasar. Semua pihak hendaknya beradu argumentasi berlandaskan fakta, data, dan pengalaman empirik selama ini. Jangan bersandar pada interpretasi dan tuduhan abstrak yang mengawang-awang," katanya.

Sedangkan aktivis gender dan HAM, Yuniyanti Chuzaifah, yang juga menjadi pembicara menyoroti tentang pentingnya aturan perundangan yang melindungi warga Negara dari ancaman kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak-anak.

"Anak laki-laki atau perempuan rentan terhadap kekerasan seksual, apalagi di era disrupsi teknologi digital dewasa ini, kekerasan seksual tidak hanya bisa terjadi secara konvensional tetapi juga bisa secara daring dalam bermacam bentuk," katanya.

Baca juga: Naskah akademik RUU PKS diprediksi rampung pada masa sidang V DPR

Dari data KPAI, dikatakannya, kasus kekerasan seksual secara daring pertama kali di laporkan ke KPAI pada 1986. Setelah itu, tepatnya 14 tahun kemudian yakni pada tahun 2000 laporan tentang kekerasan seksual secara daring yang masuk ke KPAI sudah mencapai ratusan.

"Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual itu bukan ruang hampa tetapi sungguh nyata terjadi di depan mata kita. Temuan Komnas Perempuan, ada rongga hukum dalam kasus kekerasan seksual, di mana korban berjatuhan tapi tidak ada pelaku karena ketiadaan hukum. Jadi sungguh aneh bila ada pihak yang menganggap RUU PKS tidak mendesak," katanya.

Baca juga: Anggota Baleg: Naskah akademik dan draf RUU PKS masih disusun

Ketua Umum PP Fatayat NU, Anggia Emarini, menambahkan, jika berkaca pada realitas selama ini, RUU PKS sangat penting menjadi payung hukum untuk melindungi kaum rentan mengingat tren kasusnya terus meningkat dari waktu ke waktu.

"Kami sejak awal mendukung RUU itu dan selama ini Fatayat NU melalui jaringannya baik dalam negeri maupun luar negeri selalu memberikan pendampingan terhadap para korban kekerasan seksual," katanya.

Baca juga: RUU PKS dinilai mendesak untuk segera disahkan jadi UU

Senada, Ketua Bidang Sosial Kemasyarakatan PP, Nasyiatul Susanti, mengatakan, melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, termasuk kekerasan seksual merupakan perintah agama.

"Korban kekerasan seksual adalah orang tertindas yang harus dilindungi, bukan dengan kata-kata atau perhatian saja, tetapi dengan perlindungan secara hukum. Itu esensi perlindungan di sebuah Negara hukum seperti Indonesia," katanya.

Baca juga: Legislator harapkan RUU PKS masuk prolegnas karena urgensi kasus

Pewarta: Aris Wasita
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021