Bengkulu (ANTARA) - Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Elfahmi Lubis, menyebutkan pemerintah sudah seharusnya membentuk lembaga untuk menyelesaikan persoalan sengketa Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), mengingat banyaknya perselisihan yang ditimbulkan setelah pemilihan.

Ia menilai, pelaksanaan Pilkades yang digelar secara serentak tahun 2021 lalu telah menyisakan berbagai persoalan baik yang berkaitan dengan proses maupun hasil pemilihan, yang bila terus dibiarkan akan menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Ia bilang, menteri dalam negeri perlu menerbitkan regulasi terkait pendirian lembaga independen yang berwenang menyelesaikan sengketa Pilkades.

Baca juga: Bawaslu Sulsel usulkan regulasi pilkades dibenahi

"Atau bisa juga dengan mengajukan RUU tentang Pemilihan Kepala Desa ke DPR. Intinya harus ada lembaga khusus untuk menyelesaikan sengketa Pilkades ini, karena penyelenggaraan pemilihan di ruang yang kecil seperti desa menimbulkan potensi konflik yang besar," kata dia, di Bengkulu, Senin.

Seperti halnya dalam Pemilihan Kepala Daerah, kata dia, ada lembaga seperti Badan Pengawas Pemilu yang diberikan kewenangan menyelesaikan sengketa yang bersifat ajudikasi.

"Mengapa hal yang sama juga tidak dilakukan dalam Pilkades. Dibuatkan lembaga ajudikasi yang independen dan imparsial untuk menyelesaikan baik sengketa administrasi pemilihan, sengketa proses, dan sengketa hasil," ucapnya.

Baca juga: Pilkades serentak di Ambon ditunda

Menurut dia, regulasi yang ada saat ini seperti UU Nomor 6/2014 tentang Desa beserta segala turunannya yaitu Permendagri, Perda dan Peraturan Kepala Daerah tidak secara rinci mengatur mekanisme yuridis penyelesaian sengketa Pilkades.

Di dalam regulasi itu, penyelesaian sengketa Pilkades diserahkan kepada bupati/wali kota sebagai kepala daerah untuk menentukan bentuk penyelesaian apa yang diambil jika terjadi sengketa Pilkades melalui OPD teknis seperti Dinas Pemberdayaan Desa.

Namun dalam prakteknya di banyak tempat, tindakan penyelesaian sengketa yang dilakukan bupati/wali kota sering menggunakan pertimbangan politis bukan pertimbangan yuridis atau hukum.

Baca juga: Wakil Bupati Serang sebut pilkades serentak mundur dampak PPKM

"Akibatnya, pihak yang merasa dirugikan atau dicurangi dalam Pilkades sering merasa tidak puas dan diberlakukan tidak adil atas penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh kepala daerah. Ini menjadi masalah baru sehingga potensi konflik horizontal semakin melebar," jelas ketua Program Studi PPKn Universitas Muhammadiyah Bengkulu itu.

Kata dia, dasar hukum lain yang lebih khusus mengatur tentang perselisihan mengenai hasil pemilihan kepala desa diatur pada pasal 41 ayat (7) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2015 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 6/ 2014 tentang Desa.

Baca juga: PPKM Darurat, Pilkades di 49 desa Kabupaten Bandung diundur

Pasal itu menyebutkan dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kepala desa, maka bupati atau wali kota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu tiga puluh hari, kecuali perselisihan yang terkait dengan pidana.

Apabila setelah penyelesaian perselisihan dalam jangka waktu tersebut masih terdapat pengajuan keberatan atas penetapan calon kepala desa terpilih, maka pelantikan calon kepala desa terpilih tetap dilaksanakan.

Baca juga: Kemendagri bantu daerah sukseskan pilkades

"Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kewajiban penyelesaian perselisihan mengenai hasil pemilihan kepala desa itu ada pada bupati atau wali kota. Inilah alasan mengapa dibutuhkan lembaga independen untuk menyelesaikan sengketa Pilkades," demikian Fahmi.

Pewarta: Carminanda
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021