Saya harap ada instrumen hukum yang bisa membereskan in
Jakarta (ANTARA) - Kemudahan berinvestasi harus dibarengi dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat terhadap aspek sosial dan lingkungan hidup dari lembaga negara yang berwenang, kata Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Prof Hariadi Kartodihardjo.

Hariadi dalam diskusi virtual diikuti di Jakarta, Senin, mengatakan dirinya membayangkan ada optimisme berupa inovasi ketika 79 undang-undang diintegrasikan, termasuk soal penyelesaian pelanggaran tata ruang yang menimbulkan tumpang tindih perizinan yang memunculkan konflik di masyarakat.

"Saya harap ada instrumen hukum yang bisa membereskan ini," ujar dia.

Baca juga: IPB: Kembangkan inovasi transformatif dan inklusif dukung bioekonomi

Namun, menurut dia, fakta di lapangan justru terjadi seperti kasus di Papua Barat yang menunjukkan banyaknya perizinan keluar tidak diikuti kapasitas pengawasan dan pengendalian sehingga merusak, baik dalam arti berdampak terhadap ruang hidup masyarakat maupun pelanggaran terhadap perizinan.

"Ada sawit di luar izin lokasinya. Dan itu tidak dilakukan pengawasan pemberi izin," katanya.

Sehingga, menurut dia, yang menjadi pertanyaan besar di Undang-Undang Cipta Kerja adalah bagaimana caranya agar kemudahan perizinan diikuti peningkatan kemampuan lembaga negara yang memberi izin melakukan pengawasan dan pengendalian, baik untuk aspek sosial dan lingkungan hidup.

Baca juga: 13 negara ikuti ESL "Summer Course" 2021 IPB University

Dosen Fakultas Hukum Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Univesitas Indonesia Tri Hayati mengatakan Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba memang memiliki paradigma sentralisasi mutlak. Semua wacana tersebut untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan mempermudah perizinan.

Salah satu alasan menarik perizinan ke pemerintah pusat, menurut dia, memang niat baik untuk menertibkan tumpang tindih perizinan yang tidak terkendali.

Namun, hal tersebut menjauhkan kegiatan dari masyarakat sekitar, misalnya penambangan pasir yang perizinannya untuk galian golongan C yang awalnya di kepala daerah sekarang harus ke menteri.

Baca juga: Menteri LHK apresiasi kontribusi pemuda dalam isu adaptasi lingkungan

"Bahkan pengawasan ada di pusat. Bagaimana kita tahu kejadian di daerah? Sedangkan kegiatan itu ada di daerah. Ini jadi masalah 'link'-nya seperti apa," ujar Tri.

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila Rocky Marbun mengatakan terkait perizinan, perlu dipahami filosofi mengapa orang menambang butuh izin. "Itu artinya tindakan menambang itu merusak sehingga dia butuh izin untuk merusak".

Baca juga: Menteri LHK apresiasi inovasi pemda selesaikan isu-isu lingkungan

Sehingga, menurut dia, itu menjadi tidak sinkron apabila kemudian paradigmanya bergeser jadi dipermudah perizinannya. Logika dalam administrasi publik seharusnya dipersulit.

Sementara itu, ia menjelaskan apabila berkaitan dengan domain administrasi negara, maka ketika ada kewenangan berarti ada dua kewajiban, yakni pembatasan dan pengawasan. Namun demikian, dirinya menilai kewenangan pengawasan di kementerian terkait tidak berjalan saat ini.

Baca juga: KLHK layangkan 134 surat peringatan terkait lahan dengan titik panas

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021