Jakarta (ANTARA) - Pada peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-26 yang dilangsungkan pada 10 Agustus 2021, Presiden Jokowi menyebut pengembangan teknologi di Indonesia tidak boleh hanya berhenti di sektor hulu namun juga mengalir ke hilir.

"Kita memiliki kesempatan besar dalam membangun industri mulai dari hulu sampai hilir, sebagai contoh, pertambangan nikel, kita punya tambang nikel, tapi tidak boleh berhenti di situ saja. Kita harus mengembangkan industri hilir seperti industri litium baterai sampai produksi mobil listrik," kata Presiden melalui tayanan di kanal Youtube Sekretariat Presiden.

Menurut Presiden, salah satu pilar kebijakan pemerintah saat ini adalah hilirisasi industri dalam negeri sehingga tidak boleh hanya memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi harus meningkatkan nilai tambah dan peluang kerja melalui pengembangan industri hilir.

Sebelumnya, mantan Menteri Riset dan Teknologi Indonesia/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro memang sempat mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang mendorong produksi baterai listrik selain terus mengembangkan baterai litium dan teknologi "fast charging".

Baterai tersebut digunakan untuk keperluan kendaraan listrik dengan harapan begitu kendaraan listrik dipromosikan sebagai komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi.

Produksi baterai litium bahkan masuk ke dalam lima strategi dalam prioritas Riset Nasional 2020-2024 untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Memang berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia sepanjang 2019 menjadi produsen terbesar di dunia yang menghasilkan 800.000 ton bijih nikel per tahun.

Untuk pembuatan baterai dibutuhkan tiga bahan baku utama yaitu nikel, lithium dan kobalt. Untuk nikel, Indonesia menguasai sebesar 30 persen dan dibandingkan beberapa negara lain, keunggulan Indonesia yaitu memiliki nikel laterit.

Dua perusahaan besar Korea Selatan yaitu Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution pada 28 Juli 2021 pun telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Indonesia untuk membentuk perusahaan patungan (joint venture) di Indonesia yang memproduksi sel baterai dari mobil listrik bertenaga baterai atau "Battery Electric Vehicle" (BEV)

Berdasarkan MoU tersebut, Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution akan menginvestasikan dana senilai 1,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,9 triliun ke dalam "joint venture" untuk membangun pabrik sel baterai di Karawang, Indonesia.

Pembangunan pabrik dijadwalkan akan dimulai pada kuartal keempat tahun 2021, dan akan selesai pada semester pertama 2023 sedangkan produksi massal sel baterai di fasilitas baru ini diharapkan akan dimulai pada semester pertama 2024.

Produksi sel baterai tersebut ditargetkan dapat memenuhi kebutuhan lebih dari 150.000 kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) per tahun. Hingga 2025, Hyundai Motor Group diketahui ingin memperluas jajaran BEV ke lebih dari 23 model dan menjual 1 juta BEV setiap tahun di pasar global.

Sementara PT Toyota Astra Motor juga menggandeng Toyota Motor Manufacturing Indonesia untuk produksi mobil listrik model kendaraan Hybrid Electric Vehicle (HEV) di Indonesia mulai 2022 dengan rencana investasi mencapai 2 miliar dolar AS untuk lima tahun mendatang.

Tantangan dan akselerasi

Namun berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tercatat realisasi total penjualan mobil listrik di Indonesia sepanjang semester pertama 2021 mencapai 1.900 unit. Angka tersebut tak jauh beda dibandingkan penjualan tahun sebelumnya yaitu 1.234 unit.

Jumlah tersebut tentu jauh dibanding angka penjualan mobil konvensional pada Januari-Juni 2021 yang mencapai 393.469 unit.

Harus diakusi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan rendahnya minat masyarakat Indonesia atas mobil listrik.

Pertama, harga mobil listrik yang masih cenderung lebih mahal dibandingkan mobil konvensional; kedua, daya jelajah kendaraan listrik yang terbatas; dan ketiga Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang masih minim.

Mobil listrik memiliki harga jual lebih mahal daripada mobil konvensional karena komponen utamanya, yaitu baterai, belum diproduksi secara massal. Padahal harga baterai mobil listrik sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik.

Salah satu mobil listrik termurah adalah Renault Twizy yang dibanderol seharga Rp408 juta dan mampu mencapai 0-45 km per jam dalam 6,1 detik, dengan kecepatan puncak hingga 80 km/jam sedangkan yang termahal adalah Tesla Model S Plaid+ senilai Rp4,4 miliar.

Untuk melakukan akselerasi terhadap kendaraan listrik di Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada 18 Agustus 2021 telah meluncurkan proyek percontohan konversi sepeda motor berbahan bakar minyak ke listrik di lingkungan kementeriannya dalam rangka percepatan penerapan program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

Program KBLBB dalam Grand Strategi Energi Nasional ditargetkan sebanyak 13 Juta sepeda motor listrik dan 2,2 juta mobil listrik pada tahun 2030, dengan potensi pengurangan konsumsi BBM sebesar 6 juta kiloliter per tahun dan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 7,23 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Pelaksanaan program konversi dilakukan pada pertengahan Agustus 2021 secara bertahap sampai akhir November 2021 dengan target konversi 100 unit sepeda motor untuk tahap awal yang tersebar di seluruh satuan kerja Kementerian ESDM wilayah Jabodetabek.

Program tersebut sesuai dengan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Menindaklanjuti peraturan itu, sejumlah peraturan turut mendukung akselerasi mobil listrik di Indonesia. Misalkan PP Nomor 73 tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor (PPnBM).

Dalam aturan ini, pengenaan pajak akan berdasarkan emisi gas buang. Artinya, semakin besar emisi sebuah kendaraan, maka pajaknya akan semakin besar.

Kementerian ESDM memperkirakan pada 2021 akan ada 125 ribu unit mobil listrik di dalam negeri. Selanjutnya pada 2030, diperkirakan mobil listrik mencapai 2,2 juta unit.

Dengan asumsi tersebut maka kendaraan listrik dapat mengurangi konsumsi BBM hingga 9,44 juta kilo liter per tahun. Pemerintah juga mempunyai target panjang untuk menghadirkan 2 juta unit mobil listrik pada 2030 yang bisa menurunkan emisi CO2 sebanyak 11,1 juta ton serta menghemat devisa hingga 1,8 miliar dolar karena pengurangan impor BBM.

Sedangkan di tingkat global, diproyeksikan pada 2023 ada sekitar 269 juta unit kendaraan berbasis tenaga listrik dan pada 2050, kendaraan listrik akan mencapai lebih dari 600 juta unit.

Insentif

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana juga menyebut bahwa pemerintah telah memberikan berbagai insentif untuk meningkatkan minat penggunaan kendaraan listrik.

Salah satu insentif adalah kepada badan usaha bisnis SPKLU yaitu insentif tarif curah sebesar Rp714 per kWh untuk Badan Usaha SPKLU dengan tarif penjualan maksimal Rp2.467/kWh.

Pemerintah juga telah mengatur keringanan biaya penyambungan maupun jaminan langganan tenaga listrik, serta pembebasan rekening minimum selama dua tahun pertama untuk Badan Usaha SPKLU yang bekerja sama dengan PT PLN (Persero).

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2021 bahwa penetapan wilayah untuk SPKLU tidak lagi membutuhkan rekomendasi dari pemerintah daerah, melainkan dapat diganti dengan dokumen kepemilikan lahan SPKLU atau perjanjian kerja sama dengan pemilik lahan SPKLU.

Tak hanya bagi badan usaha SPKLU, pemerintah juga memberikan insentif kepada pemilik kendaraan listrik.

Pemilik kendaraan listrik mendapatkan biaya pasang spesial untuk tambah daya hingga 11.000 VA dengan biaya Rp150.000 untuk satu fasa. Sedangkan tambah daya hingga 16.500 VA biayanya Rp450.000 untuk tiga fasa.

Pemerintah juga memberikan insentif tarif tenaga listrik "home charging", yakni diskon 30 persen selama tujuh jam pada pukul 22.00 malam sampai pukul 05.00 pagi. Diskon ini diberikan kepada pemilik kendaraan listrik dengan home charging yang terkoneksi pada sistem PLN.

Hanya saja, jika mengisi mobil listrik di rumah perlu waktu setidaknya 17 jam lebih dari hingga baterai penuh 100 persen dari kondisi 0 persen. Sedangkan di SPKLU hanya butuh sekitar 3 jam jika menggunakan "charger" biasa, atau 1 jam jika menggunakan "fast charger".

Di Indonesia, pemermintah menargetkan 2,2 juta mobil listrik mengaspal di Indonesia pada 2030.

Meski per Agustus 2021, data menunjukkan jumlah kendaraan bermotor listrik di Indonesia baru mencapai 1.478 untuk roda empat, 188 untuk roda tiga, dan 7.526 unit untuk roda dua.

Target tersebut perlu diimbangi dengan pembangunan infrastruktur pendukung seperti SPKLU dan SPBKLU. Pada 2021, dari target 572 unit SPKLU baru ada 166 unit yang terbangun.

Jumlah SPKLU juga akan bertambah hingga 31.859 unit SPKLU pada 2030 untuk mengimbangi perkirakan sekitar 2,2 juta unit kendaraan listrik di Indonesia pada 2030.

Mencontoh Korea Selatan

Indonesia sesungguhnya dapat mencontoh strategi yang diterapkan oleh Korea Selatan (Korsel) untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik oleh masyarakatnya.

"Di Korsel, tiba-tiba banyak orang yang menggunakan mobil listrik, tahu kenapa? Karena lebih murah, pemerintah memberikan banyak subsidi ke kendaraan listrik," kata dosen International Studies di Korea University Suh Yong Chung.

Dalam program "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta, Suh Yong Chung menyampaikan bahwa, alasan kedua adalah harga isi ulang baterai listrik lebih murah bila dibandingkan dengan BBM walau butuh waktu lebih lama untuk melakukan pengisian baterai.

Alasan ketiga, adalah menggunakan mobil listrik membuat pengendaranya kelihatan keren, dan ini penting karena manusia punya kecenderungan untuk tampil keren dengan kata lain menggunakan kendaraan listrik memberikan citra lebih baik dibanding menggunakan kendaraan lain.

Suh mengakui bahwa pemerintah Korsel memberikan banyak subsidi bagi kendaraan listrik.

Tentu masih ada masalah dalam praktiknya seperti bagaimana mencari tempat pengisian baterai tapi pemerintah memberikan banyak subsidi, dan setelah mengendarai mobil listrik menjadi kebiasaan, maka ongkos secara keseluruhan akan lebih murah dibanding kendaraan berbahan bakar bensin.

Pemerintah Korsel diketahui memberikan hingga 19 juta won (sekitar Rp232,6 juta) bagi rakyatnya yang membeli mobil listrik pada 2021 serta subsidi 37,5 juta won (sekitar Rp459,13 juta) bagi pembeli kendaraan berbahan bahar hidrogen demi memastikan lebih banyak mobil ramah lingkungan di negara tersebut.

Pemerintah Korsel menargetkan menambah 136 ribu kendaraan listrik dan hidrogen pada 2021 serta menambah stasiun isi ulang baterai kendaraan listrik sebanyak 31.500 unit dan 54 stasiun pengisian hidrogen.

Program subsidi kendaraan ramah lingkungan tersebut adalah bagian dari insiatif "Green New Deal" di bawah pemerintahan Presiden Moon Jae In yang diluncurkan pada Juli 2021 yang mendorong penggunaan energi terbarukan, infrastruktur dan industri ramah lingkungan serta mengatasi polusi udara dan air.

Korsel juga Korea Selatan menargetkan dapat meningkatkan pangsa pasar kendaraan listrik global dari 2,2 persen menjadi 33 persen pada 2030, dengan fokus pada kendaraan listrik dan hidrogen.

Pada 2019, jumlah kendaraan listrik yang terdaftar di Korsel tumbuh sekitar 15 persen dibandingkan 2018. Dari lebih dari 601 ribu kendaraan ramah lingkungan yang terdaftar secara nasional, 506 ribu adalah mobil hibrida dan 90 ribu adalah kendaraan listrik murni.

Dari kendaraan-kendaraan listrik tersebut Hyundai Kona yang dirilis pada 2018 adalah kendaraan listrik terlaris di pasar domestik pada 2019. Hyundai Motor Company diketahui memulai produksi massal kendaraan listrik dan hibrida pada 2009.

Hyundai awalnya tidak terlalu tertarik untuk memproduksi mobil listrik dan lebih suka memproduksi kendaraan hidrogen, tapi perusahaan itu mulai menggarap mobil listrik saat Tesla berkembang menjadi produsen mobil listrik global.

Suh mengakui bahwa raksasa otomotif Korsel tersebut tidak memproduksi teknologi mobil listrik dari nol.

"Mereka tentu sudah punya modal dan teknologi awal untuk memproduksi mobil listrik, tapi dengan dukungan pemerintah menjadi pendorong bagi Hyundai untuk memperoduksi mobil listrik. Saya sendiri dalam 5 tahun ke depan mungkin akan membeli mobil listrik," tambah Suh.

Untuk itu disarakan agar industri mobil listrik dapat tumbuh maka pemerintah harus menjadikan industri tersebut sebagai salah satu mesin pendorong ekonomi nasional.

"Tapi memang hal tersebut dapat dilakukan secara bertahap, pemerintah dapat berinvestasi ke teknologi menengah lebih dulu lalu bertahap menuju teknologi tinggi sehingga akan lebih mudah menciptakan pasarnya," kata Suh.

Pertanyaan yang tinggal adalah sanggupkah kendaraan listrik mengimbangi kecepatan dan kemampuan mobil konvensional serta menarik minat publik Indonesia?

Kendati hampir semua produsen otomotof sudah berlomba membawa mobil listriknya ke Indonesia, namun tetap melihat potensi pasar mobil listrik di Tanah Air di masa datang. Tentunya, juga sangat terkait dengan kesiapan konsumen dan infrastruktur pendukung elektrifikasi.   Selain itu, para pemain teknologi kendaraan juga harus mempelajari betul berbagai regulasi dan kebutuhan konsumen agar dapat menentukan teknologi yang paling sesuai untuk Indonesia. 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021