Sydney (ANTARA) - Saham-saham Asia tergelincir pada perdagangan Senin pagi, karena kecemasan inflasi global mendukung komoditas sebagai lindung nilai atas ekuitas AS, sementara kenaikan imbal hasil obligasi AS mengangkat dolar ke puncak dua setengah tahun terhadap yen Jepang.

Indeks berjangka Nasdaq dan S&P 500 keduanya turun sekitar 0,5 persen di awal perdagangan, karena harga minyak memperpanjang kenaikannya.

"Imbal hasil obligasi terus didorong lebih tinggi, ekspektasi inflasi meningkat dan pengetatan moneter dalam berbagai bentuk menjadi lebih umum," kata analis ANZ dalam sebuah catatan.

“Kekurangan chip global akan berlanjut hingga tahun depan, menambah ketidakpastian lebih lanjut pada pemulihan yang tidak merata,” kata mereka. “Ditambah kekurangan energi, dan lanskap ekonomi secara material lebih moderat daripada optimisme yang menyertai tahap awal pemulihan global.”

Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,2 persen dan indeks acuan Australia melemah 0,9 persen. Sementara itu, indeks Nikkei Jepang kehilangan 0,5 persen setelah anjlok 2,5 persen minggu lalu.

Musim laporan laba emiten dimulai minggu ini dan kemungkinan akan membawa cerita tentang gangguan pasokan dan kenaikan biaya-biaya. JPMorgan melaporkan pada Rabu (13/10), diikuti oleh BofA, Morgan Stanley dan Citigroup pada Kamis (14/10), dan Goldman pada Jumat (15/10).

Fokusnya juga akan pada inflasi AS dan data penjualan ritel, serta risalah pertemuan terakhir Federal Reserve yang akan mengkonfirmasi bahwa tapering November telah dibahas.

Sementara angka penggajian utama AS pada Jumat (8/10) mengecewakan, data itu sebagian karena pembukaan kembali masalah-masalah dalam pendidikan negara bagian dan lokal sementara pekerjaan sektor swasta lebih kuat.

Memang, dengan kurangnya tenaga kerja yang mendorong tingkat pengangguran turun menjadi 4,8 persen, investor lebih khawatir tentang risiko inflasi upah dan mendorong imbal hasil obligasi pemerintah naik tajam.

Imbal hasil obligasi 10-tahun diperdagangkan naik 1,61 persen, setelah melonjak 15 basis poin minggu lalu dalam kenaikan terbesarnya sejak Maret.

Obligasi juga dijual di Asia dan Eropa, dengan imbal hasil jangka pendek di Inggris mencapai level tertinggi sejak Februari 2020.

Analis di BofA memperingatkan denyut inflasi global akan diperburuk oleh biaya energi dengan minyak berpotensi melampaui 100 dolar AS per barel di tengah pasokan terbatas dan permintaan pembukaan kembali yang kuat.

Pemenang dalam skenario seperti itu adalah aset-aset riil, real estat, komoditas, volatilitas, uang tunai, dan pasar negara-negara berkembang, sementara obligasi, kredit, dan saham akan terpengaruh secara negatif.

BofA merekomendasikan komoditas-komoditas sebagai lindung nilai dan sumber daya tercatat menyumbang 20-25 persen dari indeks ekuitas utama di Inggris, Australia dan Kanada; 20 persen di pasar negara-negara berkembang; 10 persen di zona euro, dan hanya 5,0 persen di Amerika Serikat, China dan Jepang.

Dolar mendapat dukungan karena imbal hasil AS melampaui imbal hasil di Jerman dan Jepang, mengangkatnya ke level tertinggi sejak April 2019 terhadap yen di 112,27.

Euro melayang di 1,1566 dolar, setelah mencapai level terendah sejak Juli tahun lalu di 1,1527 dolar minggu lalu. Indeks dolar bertahan di 94.158, tak jauh dari puncak baru-baru ini di 94.504.

Dolar yang lebih kuat dan imbal hasil yang lebih tinggi telah membebani emas, yang tidak menawarkan pengembalian tetap, dan meninggalkannya di 1.753 dolar AS per ounce.

Harga minyak naik lagi setelah melonjak 4,0 persen minggu lalu ke level tertinggi dalam hampir tujuh tahun. Brent naik 25 sen menjadi 82,64 dolar AS per barel, sementara minyak mentah AS naik 41 sen menjadi 79,76 dolar AS per barel.

 

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021