Jakarta (ANTARA) - Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya merokemendasikan adanya upaya percepatan perluasan pungutan pajak karbon dari 2025 menjadi 2024.

"Karena tahun 2025 sudah pemerintah baru. Ada kekhawatiran apakah pemerintahan yang akan datang mendukung sepenuhnya keputusan pemerintah sekarang tentang pajak karbon," kata Berly dalam diskusi daring "Menimbang Untung Rugi Pajak Karbon" yang dipantau di Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, pemerintah melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan mulai memungut pajak karbon terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara pada 1 April 2022.

Baca juga: Kemenkeu tegaskan tidak semua entitas usaha dikenakan pajak karbon

Selanjutnya, dalam peta jalan yang dibuat pemerintah, pemerintah akan memperluas pungutan pajak karbon ke sektor industri lain seperti kehutanan dan transportasi mulai 2025.

Padahal, Berly memperkirakan perekonomian nasional pada 2024, termasuk industri nasional, telah pulih dari dampak COVID-19. Di samping itu, pada saat itu, Indonesia juga sudah memiliki pengalaman menerapkan pajak karbon selama satu setengah tahun.

"Kita punya PR (Pekerjaan Rumah) besar untuk meraih target NDC (Nationally Determined Contribution) dan NZE (Net Zero Emisision). Sekarang pemerintah masih menargetkan Indonesia NZE pada 2060 dan belum masuk dokumen resmi seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan UU, sementara negara lain sudah masuk dokumen resmi legalnya," katanya.

Baca juga: Indef: Pajak karbon mesti diterapkan secara hati-hati

Meskipun perluasan penarikan pajak karbon perlu dipercepat, menurut Berly, tarifnya bisa disesuaikan bergantung pada evaluasi yang dilakukan setiap tahun.

Selain dengan pajak karbon, untuk menurunkan emisi karbon, pemerintah juga bisa melanjutkan moratorium sawit dan mengurangi emisi dari transportasi.

"Kita bisa mengurangi diesel dan mendorong penggunaan transportasi publik, serta mengembangkan kendaraan listrik. Ini kunci agar pajak karbon menjadi bagian dari puzzle yang lengkap," katanya.

Di samping itu, ia juga menyarankan kepada pemerintah untuk mengubah pola pikir bahwa hutan atau ruang hijau baru bisa produktif ketika telah diubah menjadi pertambangan atau kebun kelapa sawit. Menurut dia, pemerintah bisa bekerja sama dengan negara lain agar konservasi hutan dapat menjadi sumber pendapatan tersendiri.

Baca juga: Kemenkeu: Pajak karbon penting untuk ciptakan ekonomi berkelanjutan

Baca juga: Sri Mulyani: Pajak karbon mulai diterapkan pada April 2022

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2021