Jakarta (ANTARA) - Konsolidasi antar operator telekomunikasi dinilai bisa menjadi solusi dalam memalksimalkan pendapatan bisnis perusahaan dari segmen Internet Of Things (IoT) yang menjadi masa depan industri telekomunikasi global.

Saat ini kehidupan manusia sangat terbantu hadirnya teknologi IoT mulai dari hal sederhana seperti smart watch, toko online, smart home hingga sistem perbankan atau industri manufaktur yang menggunakan robot.

“Melalui konsolidasi operator dapat lebih banyak masuk ke industri IoT dan bertransformasi menjadi digital solution company untuk mendatangkan pendapatan yang cukup tinggi,” kata Founder Asosiasi IoT Indonesia Teguh Prasetya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

IoT adalah sebuah infrastruktur global bagi masyarakat yang memungkinkan layanan canggih dapat terhubung secara fisik dan virtual menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui jaringan internet.

Baca juga: Survei: Kejahatan siber bisa datang dari perangkat IoT non-bisnis

Dalam diskusi bertajuk Masa Depan Industri Telekomunikasi Indonesia yang digelar oleh Indonesia Technology Forum (ITF), Teguh menjelaskan modal utama dalam mengembangkan IoT adalah pentingnya sebuah operator memiliki frekuensi yang memadai, sehingga siap untuk dikembangkan dari jarigan 4G ke 5G.

Ia menjelaskan, sesungguhnya operator umumnya sudah memiliki unit khusus dalam mengembangkan IoT, namun konsolidasi bisnis atau merger merupakan salah satu solusinya seperti yang dilakukan oleh dua operator Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia belum lama ini.

Bahkan, kata Teguh, Indosat Ooredoo saja sebenarnya sudah memperoleh pendapatan dari sektor solusi IoT dengan pendapatan dari dari solusi bisnis yang sudah mencapai sekitar Rp 3 triliun.

Baca juga: Telkom-Technoplast sinergi untuk inovasi kotak vaksin berteknologi IoT

Sementara Tri, pada induknya Hutchison sendiri malah telah menawarkan banyak sekali solusi bisnis berbasis IoT, dan pasarnya datang dari berbagai belahan dunia.

Dengan demikian, konsolidasi Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia tidak hanya menggabungkan jumlah pelanggan menjadi 104 juta, tapi juga mengoptimalkan pemanfaatan frekuensi, kualitas layanan, dan infrastruktur lain yang dimiliki.

Pasar IoT

Menurut Teguh kebutuhan pasar IoT di Indonesia cukup besar dan penetrasinya bisa ke berbagai sektor industri seperti manufaktur, kesehatan, agrikultur, retail, sektor publik, dan lain sebagainya, termasuk sektor telekomunikasi dan media.

“Ditunjang juga dengan kondisi pasar aplikasi dan platform IoT di Indonesia juga terus berkembang. Kebutuhan setiap tahunnya meningkat signifikan dan berpotensi naik hingga 78 persen di tahun 2025,” kata Teguh yang juga Ketua Bidang Industri dan Kemandirian IOT, AI dan Big Data (TRIOTA) Masyarakat Telematika Indonesia / Mastel) ini.

IoT sendiri menduduki urutan pertama dari 4 industri teknologi teratas selain Artificial intelligence, Cloud Infrastructure, dan Big Data / Analytics yang memberi dampak berdasarkan survei dari Deloitte.

Teguh menambahkan, setidaknya ada tiga aspek yang akan dilakukan oleh operator konsolidasi untuk bersiap di industri IoT, antara lain konsolidasi alat produksi, mulai BTS dan infrastruktur lain sehingga operator dapat menyajukan jaringan dan gateway yang dibutuhkan untuk solusi IoT.

Selanjutnya, optimalisasi solusi dan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan bisnis (korporasi) dan non-bisnis (retail), di mana hadir beragam pilihan dan pengelolaan platform yang terdiri dari manajemen perangkat, sistem keamanan bagi user maupun korporat, kemampuan analitik dan sebagainya.

“Inilah tulang punggung dari terlaksananya IoT yang dianggap mampu menjadi motor dari transformasi digital di Indonesia,” katanya.

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021