Jakarta (ANTARA) - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meminta pemberantasan mafia tanah harus jadi prioritas penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan maupun KPK.

"Idealnya memang harus ada sinergi tiga komponen penegak hukum, artinya ada keinginan dan kemauan serius dari pemerintah, sekaligus membuktikan bahwa pemberantasan mafia tanah dilaksanakan," kata Anggota Komite I DPD RI Abdul Rachman Thaha dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, aparat kepolisian harus terus membuktikan upaya yang maksimal, termasuk mengejar para pelaku yang masih buron.

Seperti diketahui, dalam kasus dugaan mafia tanah di Jakarta, Polda Metro Jaya menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan akta autentik tanah di Cakung, Jakarta Timur, yaitu Benny Simon Tabalajun selaku pimpinan PT Salve Veritate. Namun saat ini keberadaan Benny diduga kuat di Australia.

Kasus itu bermula dari laporan polisi yang diterima pada 2018 lalu. Laporan itu terdaftar dengan nomor laporan LP/5471/X/2018/PMJ/Ditreskrim, tanggal 10 Oktober 2018 lalu.

Abdul Rachman menyebut konflik tanah ini seperti api dalam sekam yang bisa mengakibatkan ledakan konflik di tanah air.

Menurut dia, konflik bisa jadi terjadi bukan hanya antar individu, antar keluarga, hingga antar kelompok masyarakat.

"Laporan dari berbagai dapil, banyak sekali aduan ke DPD mengenai persoalan konflik tanah. Hal ini menunjukkan mafia tanah masih merajalela," katanya.

Baca juga: LPSK dukung pemerintah berantas mafia tanah dan siap lindungi korban
Baca juga: Kementerian ATR/BPN tindak tegas mafia tanah
Baca juga: Hakim Agung: Hadapi kasus mafia tanah harus ambil sikap afirmatif


Masih banyaknya mafia tanah ini, kata dia, menjadi indikasi takluknya negara dalam memastikan sistem kepemilikan dan penguasaan tanah secara layak.

"Presiden memang membagikan akte tanah ke warga, itu memang baik, namun jauh dari cukup. Harusnya ada pembenahan karena titik pangkal pemalsuan kerap ditemukan di BPN. Masih ada oknum-oknum yang terlibat dalam pemalsuan dokumen pertanahan itu sendiri," kata Abdul Rachman.

Komisioner Ombudsman RI Mokh Najih menilai kinerja Polri dan juga Satgas Mafia Tanah di Kementerian ATR/BPN masih angin-anginan, oleh karena itu satgas diharapkan bisa menuntaskan kasus mafia tanah yang kian banyak laporannya.

"Satgas itu sebenarnya sangat strategis, jika mampu berperan secara konsisten, sebab akan memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik di bidang pertanahan," kata Najih.

Dalam arti pelayanan publik bidang pertanahan dapat menunjukkan kinerja yang semakin mudah, cepat dan murah, namun kenyataan ya keluhan publik ke Ombudsman di bidang ini masih tinggi, masuk tiga besar dari laporan masyarakat.

Ia pun menilai pengejaran buron atau DPO kasus mafia tanah cukup rumit, sebab orangnya tidak dapat diketahui kedudukannya, dan juga batas waktu sampai kapan DPOnya.

"Saran saya, perlu ada pembatasan waktu buron atau DPO paling tidak dua kali jumlah ancaman sanksi terhadap tindak pidana yang dilakukan. Kalau sudah habis masa batas waktu, kemudian tertangkap, maka diancam dengan pidana melarikan dirinya atau buronnya tersebut," ujarnya.

Ia juga meminta Polri meningkatkan kerja sama dengan Interpol, sehingga dalam hal pengejaran tersangka, penggunaan satu data bersama menjadi penting. Termasuk untuk mengetahui apakah tersangka masih hidup atau sudah mati.

Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi mengatakan Satgas Mafia Tanah Bareskrim Polri sampai saat ini masih berjalan optimal menangani kasus-kasus.

Dia juga mengatakan kasus Benny Tabalujan juga sudah ditangani Bareskrim.

"Proses sedang penyidikan, bahkan sudah ada yang P21 dan sudah dilimpahkan," katanya.

Dalam kasus tanah yang sama, sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menjatuhkan sanksi disiplin kepada pegawai BPN yang terlibat penerbitan sertifikat hak milik (SHM) tanah seluas 7,78 hektare yang disengketakan antara Abdul Halim dan PT SalveVeritate di Cakung, Jakarta Timur.

Menurut Sofyan, SHM bernomor 4931/Cakung Barat itu diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta Nomor 13/Pbt/BPN.31/IX/2019 tanggal 30 September 2019.

Bahkan, mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN DKI Jakarta bernama Jaya telah diberhentikan secara tidak hormat.

Namun, PTUN DKI Jakarta membatalkan SK pemecatan yang dikeluarkan Menteri ATR/BPN Soyfyan Djalil. Jaya memenangkan gugatan tersebut, yang dicatat dalam monitor Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN dengan nomor perkara 9/G/2021/PTUN.JKT.

Di sisi lain, PN Jakarta Timur dalam kesempatan terpisah juga menyebutkan Jaya tidak bersalah dalam sangkaan tindak pidana korupsi. Hal itu tertuang dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP PN Jaktim), Rabu (27/10/2021) dengan nomor 11/Pid.Praper/2021/PN.Jkt.Tim.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021