Papua (ANTARA) - Pembangkit Listrik Tenaga Surya Indonesia (PLTS) dinilai merupakan teknologi yang mumpuni dan tepat untuk mengakselerasi transisi energi di Indonesia lantaran potensi energi surya di negara ini yang sangat besar.

"Menurut perhitungan kami di AESI (Asosiasi Energi Solar Indonesia), potensi tenaga surya kita mencapai 3,4 TWp (terawatt peak) hingga 20 TWp, 12 kali sampai dengan 74 kali lebih tinggi dari potensi yang disampaikan pemerintah," kata Ketua AESI Fabby Tumiwa, dalam Huawei Media Camp 2021 di Raja Ampat, Papua, Rabu.

Menurut Tumiwa, kebutuhan energi Indonesia bahkan sebagian besar bisa dipenuhi dari energi surya. "Lalu bagaimana jika malam hari ketika tidak ada sinar Matahari? Makanya perlu ada yang disimpan, karena itu perlu baterai."

Menjadi tantangan ke depan, kata Tumiwa, bagaimana menciptakan baterai yang reliable, jangka panjang, dan bagaimana daur ulangnya (recycle).

Pengembangan PLTS, berdasarkan perkiraan AESI, dapat membuka lapangan kerja hijau 20 - 30 ribu lapangan kerja untuk setiap 1 Giga Watt Peak (GWp) dan dampak ekonomi pada Produk Domestik Bruto yang besar. Setiap 2000 unit PLTS Atap, 9 Mega Watt menciptakan nilai ekonomi 17,9 juta dolar.

Lalu apakah dalam transisi variabel energi terbarukan bisa menggantikan fungsi PLTU atau pembangkit thermal lain yang menjadi sumber energi 24 jam 7 hari.

Menurut Tumiwa, transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan bagi Indonesia sangat penting sebagai bagian dari upaya kontribusi negara terhadap pengurangan efek gas rumah kaca dunia sebagaimana telah disepakati dalam COP26.

Di COP26, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan transisi energi dengan mempercepat pembangunan pembangkit energi terbarukan, menghentikan pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) baru, dan mempersiapkan pensiun dini PLTU sebelum 2030.

"PLTU 9,2 GW pensiun dini sebelum 2030, cuma 40 persen yang diganti EBT (energi baru terbarukan)," jelas Tumiwa.

Pemanasan global dan iklim ekstrem yang belakangan dirasakan, kata Tumiwa, merupakan efek dari gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia di Bumi. Gas-gas seperti CO2 dan yang berbahaya bagi lingkungan lainnya ini akan menangkap panas di atmosfir sehingga menimbulkan pemanasan global.

Oleh karena itu, dalam Glasgow Climate Pact di Skotlandia beberapa waktu lalu menekankan urgensi untuk mencegah kenaikan temperatur global di 1,5 derajat Celsius, penurunan PLTU dan reformasi subsidi energi fosil merupakan kebijakan kunci yang disepakati dilakukan oleh semua negara.


Baca juga: Kementerian ESDM sebut potensi energi surya capai 3.294 GWp

Baca juga: Kementerian ESDM bangun PLTS di puluhan pos jaga TNI

Baca juga: Unand bantu penerapan listrik tenaga surya pada usaha tani aquaponik

Pewarta: Suryanto
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021