Pada insentif fiskal, UU HKPD mendorong Pemda untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha
Jakarta (ANTARA) - Kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan bahwa Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) membawa manfaat pada tiga dimensi yakni dari sisi insentif fiskal, ruang otonomi, dan peningkatan peningkatan pendapatan asli daerah.

“Pada insentif fiskal, UU HKPD mendorong pemda untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha,” kata Direktur Eksekutif KPPOD, Arman Suparman dalam diskusi media KPPOD yang dilaksanakan secara daring, Senin.

Dari sisi ekonomi, lanjutnya, UU HKPD menciptakan ruang bagi otonomi daerah dalam menetapkan tarif dengan sistem range (batas maksimal) dan tidak memungut pajak yang potensinya tidak memadai. UU tersebut juga menetapkan Pemda berwenang untuk menarik opsen sebagai pungutan tambahan atas pajak tertentu sehingga berpotensi meningkatkan PAD.

“Hal ini sebenarnya memperkuat PP 10/2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja dan mempertegas PP 24/2019 dimana daerah memberikan insentif fiskal sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Arman.

Arman menuturkan bahwa UU HKPD juga menghadirkan skema opsen di mana terdapat pungutan tambahan terhadap jenis pajak tertentu, yakni Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. Namun, skema opsen tersebut tidak jauh berbeda dengan tarif existing. Sehingga ia berharap adanya peraturan terkait opsen agar tidak membingungkan pembayaran pajak.

Baca juga: Menkeu: RUU HKPD akan dongkrak pendapatan daerah hingga Rp30,1 triliun

Lebih lanjut KPPOD juga menemukan adanya potensi dampak ekonomi negatif yang bisa ditimbulkan oleh UU HKPD yang terlihat dari pengaturan beberapa pajak daerah seperti Pajak Barang dan Jasa Tertentu untuk Tenaga Listrik.

Meski secara substansi telah sesuai dengan beberapa poin MK, Arman berpendapat penarikan pajak atas penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri mengindikasikan bahwa terdapat keterbatasan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur. Selain juga menandakan adanya partisipasi masyarakat dalam perekonomian daerah.

“Dua hal ini perlu dipertimbangkan agar tetap memperhatikan keseimbangan dan melihat kontribusi pelaku usaha yang memiliki tenaga listrik yang dihasilkan sendiri terhadap perekonomian daerah,” jelas Arman.

Selain itu kenaikan persentase Pajak Bumi dan Bangunan untuk Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) juga berpotensi membebani pelaku usaha dan kelompok masyarakat tertentu. Serta mekanisme Transfer Keuangan dan Dana Desa (TKDD) yang masih alam sentris sehingga dibutuhkan DBH sektor sektor sekunder dan tersier sebagai penghargaan terhadap potensi daerah yang bermanfaat bagi pusat.

Ia pun memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memberikan sosialisasi sistematis. penguatan insentif dan disinsentif serta reformasi birokrasi. Sedangkan pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan berbasis bukti, memperkuat dukungan publik, dan reformasi birokrasi.

Baca juga: DPR setujui RUU Hubungan Keuangan Pusat-Daerah disahkan jadi UU

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021