Potensi dan teknologi energi baru terbarukan merupakan modal utama untuk melaksanakan strategi transisi energi menuju net zero emission pada 2060
Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan potensi dan teknologi energi baru terbarukan (EBT) adalah modal utama dalam menjalankan program transisi energi di Indonesia.

"Potensi dan teknologi energi baru terbarukan merupakan modal utama untuk melaksanakan strategi transisi energi menuju net zero emission pada 2060," kata Arifin dalam acara Indonesia Energy Transition Outlook 2022 yang dipantau di Jakarta, Selasa.

Strategi transisi energi meliputi, antara lain dari sisi suplai pengembangan pembangkit energi baru terbarukan secara masif dengan prioritas pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan retairment pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap, pemanfaatan hidrogen, serta pengembangan teknologi penyimpanan listrik.

Sementara itu, dari sisi permintaan meliputi pemanfaatan kompor listrik, kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pengembangan interkoneksi smart grid, smart meter, dan jaringan gas bumi.

Arifin menyampaikan transisi energi memerlukan investasi yang sangat besar. Total investasi sektor kelistrikan diproyeksikan sebesar 1 triliun dolar AS pada 2060 atau 25 miliar dolar AS per tahun.

"Diharapkan dengan dukungan teknologi yang kompetitif kita dapat menekankan jumlah investasi tersebut," ujarnya.

Untuk mendorong transisi energi, Kementrian ESDM telah mengesahkan green RUPTL dengan rencana pengembangan pembangkit energi baru terbarukan sebesar 20,9 gigawatt atau 51,6 persen dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga tahun 2030.

Di samping itu direncanakan retairment PLTU sebesar 1,1 gigawatt, dedieselisasi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi PLTS, dan co-firing biomassa, sehingga akan tercapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Arifin juga menyampaikan bahwa pengembangan pembangkit energi baru terbarukan juga harus memperhitungkan keseimbangan antara suplai dan demand, kesiapan sistem, keekonomian, serta harus diikuti dengan kemampuan domestik untuk memproduksi industri energi bersih, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi importir teknologi energi baru terbarukan.

"Melalui pengembangan pembangkit energi baru terbarukan diproyeksikan dapat mengurangi emisi secara signifikan, khususnya setelah 2040. Pada saat selesainya kontrak pembangkit fosil dan 2060 ditargetkan sudah tidak terdapat emisi dari pembangkit," katanya.

Baca juga: Dunia usaha apresiasi pemerintah pacu energi bersih

Baca juga: Kadin dorong komitmen PLN dalam pemanfaatan EBT

Baca juga: RUU EBT harus integrasikan aspirasi seluruh pemangku kepentingan

 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021