Jakarta (ANTARA) - Pusat kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM) boleh saja menjadi yang paling menonjol di Jalan Cikini Raya pada masa sekarang, tetapi sejatinya kawasan Cikini lebih dari itu. Jalan yang membentang kurang lebih 1 km di pusat kota Jakarta itu menyimpan peta sejarah yang panjang sejak zaman kolonial.

Wajah Cikini terus berkembang dekade demi dekade, bergerak dari abad ke-19 hingga abad ke-21. Ruang-ruang modern di sekitarnya bertumbuh, berbenah, dan bersolek.

Baca juga: Menanti berkah dari sejarah panjang Cikini

Sederet potensi nilai sejarah Cikini telah dilirik Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menjadikannya nilai tambah bagi pengembangan wisata perkotaan berkonsep walking tour yang hingga akhir tahun ini tengah dimatangkan.

Kepala Bidang Pemasaran dan Atraksi Disparekraf DKI Jakarta Hari Wibowo mengatakan peta sejarah yang ada di kawasan Cikini memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

“Banyak yang spesial sebenarnya di sini. Ada Bakoel Koffie, beberapa tempat wisata kuliner baru di kawasan Cikini. Ada rumah bapak alm. Ahmad Soebardjo, Menteri Luar Negeri pertama, itu juga menarik, rumahnya sangat besar,” kata Hari saat ditemui ANTARA beberapa waktu yang lalu.

Gagasan mengenai Cikini Walking Tour sendiri, kata Hari, bermula dari tumbuhnya minat masyarakat berwisata di kawasan ini. Apalagi Cikini telah ditopang dengan infrastruktur yang mumpuni.

Infrastruktur trotoar di sepanjang jalan Cikini Raya kini sudah rampung bersolek yang dikerjakan pada 2019 lalu, dilengkapi guiding block, bollard atau tiang kecil pembatas, bangku taman, halte, dan wayfinding. Dengan kelengkapan fasilitas pejalan kaki seperti itu, konsep wisata walking tour lebih memungkinkan untuk dikembangkan.

Baca juga: Pemkot Jakbar tata kawasan Glodok jadi wisata sejarah Pecinan
Seorang pejalan kaki melintas di trotoar jalan Cikini Raya di depan bangunan baru Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 23 Desember 2021. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Untuk mewujudkan rencana tersebut, pihak Disparekraf turut menggandeng BUMD PT Jakarta Tourisindo atau Jakarta Experience Board (JXB), asosiasi agen wisata, hingga komunitas pemandu wisata yang telah profesional di bidangnya.

Event & Product Specialist PT Jakarta Tourisindo, Muhammad Rayhan Islamy, mengatakan konsep wisata ini akan diluncurkan sesegera mungkin. Ia berharap Cikini Walking Tour bisa berjalan pada 2022 dan dibuka untuk masyarakat luas.

“Karena ini udah trial ketiga kami, kami mau coba launching-nya di bulan Januari. Kami lihat kondisi pandemi juga karena sebenarnya (pengalaman) tur ini lebih baik dilakukan secara offline,” katanya.

Menjelajah tempat-tempat bersejarah Cikini dengan berjalan kaki dapat dijadikan alternatif berwisata pascapandemi. Terlebih konsep berwisata ini dapat menerapkan pembatasan jumlah peserta walking tour dalam satu grup sehingga tak perlu berdesak-desakan atau berkerumun.

Nantinya pemandu tur tak sekadar mengenalkan tempat-tempat menarik, melainkan juga mengajak wisatawan mengimajinasikan wajah Cikini tempo doeloe dengan melewati rute yang telah disiapkan.

Baca juga: Hal baru terungkap dari restorasi lukisan Raden Saleh

Wajah Cikini, dari “istana” Raden Saleh hingga kedai Bakoel Koffie era kontemporer

Saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda, Cikini dapat dikatakan termasuk kawasan yang istimewa sebab menjadi bagian dari penyokong Weltevreden atau kawasan tempat tinggal utama orang-orang Eropa.

Menariknya, pada masa itu maestro pelukis dan sosialita Raden Saleh menjadi pemilik lahan yang paling luas di daerah Cikini meski hanya bertahan 10 tahun. Konon luas lahan milik Raden Saleh membentang dari TIM hingga RS PGI Cikini.

Di atas tanah yang ia beli usai kembali dari Eropa, pelukis bernama lengkap Raden Saleh Sjarif Boestaman itu merancang sendiri “istananya” yang terinspirasi dari kastil Callenberg di Jerman pada 1852. Bangunannya masih eksis hingga hari ini, terletak di dalam kompleks RS PGI Cikini dan statusnya telah menjadi cagar budaya.

Baca juga: Amerika danai revitalisasi rumah Raden Saleh
Tampak depan bangunan rumah Raden Saleh yang terletak di dalam kompleks RS PGI Cikin, Jakarta, 23 Desember 2021. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Meski sudah ada perubahan kecil sejak dipugar beberapa kali, rumah Raden Saleh masih tampak megah. Gaya arsitektur bangunannya berlanggam Eklektik–Neo Gotik, salah satu ciri khas penandanya yakni penempatan rose window pada gevel runcing tampak depan. Sementara pada portico sayap kanan dan kiri dipengaruhi oleh arsitektur timur tengah atau Moorish.

Bagian interior yang paling menonjol adalah ruang aula berplafon tinggi yang dikelilingi balkon lantai dua dengan pencahayaan skylight yang terhubung langsung dengan lantai dasar. Aula pada bangunan Eropa biasanya digunakan para sosialita untuk menggelar pesta dansa.

Baca juga: Komik tentang Raden Saleh diluncurkan pada Frankfurt Book Fair 2019

Konon pintu gerbang rumah Raden Saleh dahulu terletak dari arah jalan Cikini Raya, searah dengan orientasi bangunan yang menghadap barat daya. Kecintaan Raden Saleh terhadap satwa tak hanya terepresentasi pada pelbagai karya lukisannya, ia akhirnya memelihara berbagai jenis hewan di lahan yang luasnya hektaran itu.

Di kemudian hari pada 1862, taman itu dihibahkan untuk kebun binatang dan taman umum bernama “Planten En Dierentuin”––cikal bakal Kebun Binatang Cikini yang pada 1964 dipindahkan ke Ragunan dan pada 1968 bekas lahannya disulap menjadi TIM oleh Gubernur Ali Sadikin.

Di belakang rumah Raden Saleh juga berdiri bangunan antik lainnya, yakni Kapel RS Cikini yang baru dibangun pada 1906 atau setelah bangunan rumah sakit didirikan. Ornamen Kapel ini juga sangat kental dengan gaya arsitektur Eropa. Sama seperti rumah Raden Saleh, status Kapel ini telah menjadi cagar budaya.
Tampak depan bangunan Kapel Rumah Sakit Cikini, Jakarta, 23 Desember 2021. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Bergerak sekitar setengah abad setelah lahan hektaran itu tak lagi dimiliki Raden Saleh, wajah sepanjang jalan Cikini Raya terus berkembang sedemikian rupa. Terlebih pemerintah Hindia Belanda tampaknya memang menyiapkan kawasan tersebut sebagai penyokong perumahan Nieuw-Gondangdia (pemukiman elit Menteng).

Hal tersebut terlihat dari berdirinya sejumlah fasilitas penunjang yang rupa bangunan beberapa di antaranya tak lagi utuh bahkan sudah hilang dan berganti fungsi, termasuk taman dan kebun binatang bekas Raden Saleh.

Salah satu bangunan yang tak banyak berubah adalah Kantor Pos Cikini (Tjikini Post Kantoor). Bangunan bernuansa artdeco yang terletak di hulu jalan itu dibangun pada 1920 dan masih beroperasi di masa sekarang.

Baca juga: Warisan Raden Saleh, sang pembaru
Tampak depan bangunan Kantor Pos Cikini, Jakarta, 23 Desember 2021. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Sebagai bagian dari Weltevreden, tempat-tempat yang dibangun pada masa kolonial secara otomatis hadir terutama untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup warga Eropa. Sekitar 1920-an, misalnya, kawasan ini pun punya Zwembad Cikini (Kolam Renang Cikini) yang dahulu diperuntukkan bagi warga Eropa.

Dalam urusan gaya hidup lainnya, bahkan sejak 1898 telah berdiri toko “De Spin” atau toko Laba-Laba yang saat itu memproduksi barang-barang berbahan kulit, seperti tas dan sepatu. Toko ini masih beroperasi hingga sekarang meski bangunannya telah bertransformasi dan sekilas tampak tak berbeda dengan gaya toko modern saat ini. Di masa sekarang, Laba-Laba hanya mengkhususkan pada reparasi.

Cikini juga punya tempat istimewa dalam hal pengembangan pusat pendidikan. Tak jauh dari Laba-Laba, berdiri sekolah milik pemerintah Hindia Belanda, Eerste School D (kini berubah menjadi SMPN 1 Cikini), yang dibangun pada 1909. Sekolah ini merupakan sekolah untuk orang pribumi pertama yang ada di Batavia.

Selain Eerste School D, Sekolah Rakyat Partikelir Mayumi atau kini dikenal dengan Perguruan Cikini juga menjadi populer di kawasan tersebut sejak dibangun pada masa pendudukan Jepang.

Baca juga: DKI berencana hiasi Cikini dengan mural
Gerobak roti Tan Ek Tjoan yang hingga kini masih dijajakan di sekitar Cikini, Jakarta, 23 Desember 2021. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Ada dua toko unik yang meskipun baru berdiri setelah Indonesia merdeka, tetapi sejarah produknya telah melintang sejak abad ke-19, yaitu roti Tan Ek Tjoan dan kopi dari Bakoel Koffie.

Pabrik roti Tan Ek Tjoan mulai beroperasi di kawasan itu pada 1955 sementara kedai Bakoel Koffie baru menempati pertokoan pada 2002.

Tan Ek Tjoan sejatinya mulai hadir sejak 1921 dengan membuka pabrik di Bogor. Mulanya hanya memfokuskan diri pada produksi makanan sehari-hari orang Eropa di Bogor, yaitu roti gambang. Seiring perkembangan zaman, Tan Ek Tjoan membuat berbagai varian roti yang dapat dinikmati semua kalangan.

Meski pabrik roti tertua di Jakarta dan Bogor itu sudah pindah ke Ciputat, pelbagai jenis roti Tan Ek Tjoan masih bisa dijumpai di sekitar Cikini yang dijajakan secara berkeliling dengan menggunakan gerobak sepeda.

Sementara Bakoel Koffie sendiri merupakan perpanjangan bisnis dari Warung Tinggi yang mulai dirintis pada 1878. Pemiliknya, Liauw Tek Soen, mendirikan pabrik kopi pertama di Weltevreden dengan nama Tek Soen Hoo pada 1927.

Setelah Indonesia berdaulat, berdiri sejumlah bangunan legendaris lainnya, termasuk rumah Ibu Dibjo yang menjadi tempat usahanya untuk menjajakan tiket pelbagai acara (1963) hingga rumah mewah Hasyim Ning yang paling menonjol di bilangan Cikini.

Beberapa bangunan lainnya tak lagi utuh bahkan sudah hilang dan berganti fungsi tetapi produknya masih dapat dijumpai, yakni toko es krim Tjan Njan atau Tjanang (1951) yang menjadi es krim favorit keluarga Bung Karno dan keluarga Cendana serta toko kacamata A. Kasoem (1956) yang dikembangkan Atjoem Kasoem, pribumi pemilik toko kacamata pertama di Indonesia.



Baca juga: Jelajah sejarah dan kuliner di Kota Tua Jakarta

Baca juga: Area Makam Pangeran Jayakarta akan dibangun sentra usaha kecil

Baca juga: Fakta sejarah lima museum Kota Tua Jakarta

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021