Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen HAM Kemenkumham) Mualimin Abdi mengingatkan pentingnya Undang-Undang Cipta Kerja dalam menangani masalah bisnis kelapa sawit yang seringkali terkendala akibat regulasi yang tumpang-tindih.

"Pada konsentrasi tumpang-tindih regulasi, sebenarnya dengan Undang-Undang Cipta Kerja bisa kita jembatani agar tidak terjadi lagi," kata Mualimin ketika menyampaikan paparan dalam seminar bertajuk "Mengungkap Dampak Bisnis Industri Kelapa Sawit" yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Setjen DPR RI Channel, dipantau dari Jakarta, Senin.

Regulasi yang tumpang-tindih mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang terlibat. Dalam hal ini, adalah pelaku bisnis dan masyarakat adat, maupun masyarakat hukum adat yang berada di kawasan kelapa sawit.

"Seringkali orang konflik karena satu lahan hamparan yang cukup luas, itu pemiliknya bisa berbagai macam. Celakanya, semua pemiliknya punya sertifikat," tutur dia.

Lebih lanjut, ketidakpastian hukum acapkali menjadi penyebab terjadinya konflik agraria antara masyarakat hukum adat dengan pemilik perusahaan yang melakukan aktivitas korporasi, seperti perluasan lahan kebun kelapa sawit.

"Masyarakat adat selalu termarginalkan (terpinggirkan, red.) apabila ada konflik-konflik yang terkait dengan aktivitas korporasi itu," ucap dia.

Baca juga: Perbaikan UU Cipta Kerja, pemerintah disarankan libatkan publik

Baca juga: Komnas HAM harap perbaikan UU Ciptaker pertimbangkan prinsip HAM


Oleh karena itu, salah satu solusi yang Pemerintah cetuskan untuk menanggulangi permasalahan regulasi yang tumpang-tindih adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Melalui undang-undang tersebut, Pemerintah berharap dapat merampingkan regulasi, khususnya yang memiliki keterkaitan dengan bisnis berskala besar seperti kelapa sawit.

"Namun demikian, Mahkamah Konstitusi memutuskan itu (Undang-Undang Cipta Kerja, red.) inkonstitusional bersyarat," ujar Dirjen HAM ini.

Selain permasalahan terkait regulasi yang tumpang-tindih, perbedaan tafsir terhadap norma-norma di dalam regulasi juga menjadi permasalahan yang sering Mualimin dan pihaknya temukan di lapangan.

"Ini seringkali menjadi permasalahan di dalam aktivitas bisnis kelapa sawit. Memang kelapa sawit itu produk primadona yang memerlukan lahan yang cukup luas, jadi seringkali bertabrakan dengan berbagai hal, utamanya masyarakat adat atau masyarakat hukum adat," tutur Mualimin.

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021