Jakarta (ANTARA) - Penerimaan pajak berhasil mencatatkan realisasi Rp1.231,87 triliun pada 26 Desember 2021 atau 100,19 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebesar Rp1.229,6 triliun.

Kinerja cemerlang tersebut dibukukan di tengah pandemi COVID-19 yang masih melanda Tanah Air dan dalam proses pemulihan ekonomi.

Tercapainya penerimaan pajak akhir tahun ini merupakan kabar gembira yang dinanti-nanti pemerintah, pasalnya penerimaan pajak sudah 12 tahun lamanya tak mencapai target.

Setoran pajak terakhir kali mencapai target pada tahun 2008, di mana saat itu penerimaan pajak mencapai Rp571,1 triliun atau 106,84 persen dari target APBN-P tahun 2008, yakni Rp534,53 triliun.

Kendati demikian, realisasi pemasukan pajak pada tahun 2021 lebih baik dibandingkan tahun 2008 lantaran penerimaan pajak 12 tahun lalu berhasil melesat akibat adanya program sunset policy, yakni penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga.

Kementerian Keuangan mencatat program tersebut menyumbang kontribusi sebesar 15,2 persen terhadap surplus penerimaan pajak tahun 2008 yang mencapai Rp36,57 triliun.

Sementara, pada tahun 2021 penerimaan pajak masih dibayangi pandemi, bahkan sempat tertekan saat COVID-19 varian Delta merebak pada awal pertengahan tahun, namun tetap berhasil mencapai target.

Tak hanya dari sisi realisasi, capaian prestasi kinerja penerimaan pajak di tahun 2021 juga dapat dilihat dari pertumbuhannya, yakni 17 persen per November 2021, di mana pertumbuhan tersebut adalah yang tertinggi dalam 11 tahun terakhir.

Dengan demikian, penerimaan pajak yang mencapai target tak semata-mata karena target yang ditetapkan cenderung realistis, tetapi juga disebabkan kinerja penerimaan pajak tahun 2021 yang mampu berbalik arah dengan sangat kuat.

Ditinjau dari jenis pajak, kinerja penerimaan pajak tahun 2021 disokong oleh penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) yang tumbuh 19,8 persen.

Sementara secara sektoral, kinerja penerimaan pajak tahun 2021 didorong oleh industri pengolahan yang berkontribusi sebesar 22,9 persen , serta perdagangan dengan kontribusi 22,1 persen.

Penerimaan pajak dari sektor pertambangan memang meningkat hingga 59,1 persen, namun kontribusinya hanya 4,7 persen, sehingga kenaikan harga komoditas bukanlah menjadi alasan utama tercapainya target penerimaan pajak tahun ini.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menuturkan setidaknya terdapat tiga kemungkinan yang dapat menjadi alasan mengapa kinerja penerimaan pajak tahun 2021 begitu baik.

Kemungkinan pertama adalah pemulihan ekonomi tahun 2021 yang kuat, terutama didukung dari penerimaan PPN yang menjadi motor penggerak kinerja penerimaan tahun 2021, di mana pemasukan melalui PPN begitu responsif terhadap aktivitas ekonomi.

Selanjutnya, kemungkinan yang kedua yaitu pemberian relaksasi pajak yang efektif, sehingga memberikan efek berganda berupa penerimaan negara yang lebih besar.

Per 24 Desember 2021, pemerintah telah memberikan insentif perpajakan untuk dunia usaha sebesar Rp63,16 triliun atau 100,5 persen dari pagu.

Berbagai insentif tersebut berhasil memberikan dampak berganda terhadap perekonomian, sehingga sektor-sektor yang terdampak pandemi COVID-19 pun terdongkrak untuk tumbuh.

Adapun kemungkinan yang ketiga adalah pengawasan yang optimal oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meski di masa pandemi.


Tantangan tahun 2022

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo berharap euforia keberhasilan pencapaian target penerimaan pajak hendaknya tak berlebihan, utamanya karena ke depan tantangan akan semakin berat.

Tahun 2022 akan menjadi tahun yang sangat krusial, yaitu tahun terakhir defisit APBN boleh melebihi tiga persen dan pada tahun 2023 defisit anggaran sudah harus di bawah tiga persen.

Sementara itu, ketidakpastian risiko pandemi COVID-19 masih membayangi, sehingga penerimaan negara akan semakin besar dituntut untuk dapat menutupi defisit APBN tersebut.

Oleh sebab itu, DJP akan tetap mengevaluasi kinerja tahun 2021 dan menyisir kembali yang telah terjadi pada tahun ini untuk mempersiapkan diri menjalani tahun 2022.

"Kinerja dan strategi yang sudah baik akan dilanjutkan di tahun 2022, sementara kinerja dan strategi yang kurang baik akan diperbaiki dan jika perlu diganti," tegas Suryo.

Pada tahun 2022, target pendapatan negara yang sebesar Rp1.846,1 triliun akan ditopang lebih dari 81 persen oleh penerimaan pajak yang dipatok sebesar Rp1.510 triliun.

Untuk bisa mendongkrak kinerja di tahun 2022 yang penuh tantangan, DJP sebenarnya sudah dibekali dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam UU tersebut, diberikan ruang untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan penambahan objek dan peningkatan tarif, seperti halnya dalam ketentuan baru atas PPN.

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) menjadi program tambahan yang bisa mendorong penerimaan lebih optimal di tahun 2022 nanti, karena menjadi kebijakan yang ditunggu para wajib pajak untuk bisa mengungkapkan harta yang sebelumnya tidak tercatat di surat pemberitahuan (SPT) pajaknya, dengan tarif yang lebih murah.

"Instrumen UU HPP ini menjadi daya dukung positif terhadap usaha DJP untuk kembali bisa mengulang kesuksesan tahun ini untuk tahun 2022 nanti," ujar Ekonom Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emitmen Indonesia Ajib Hamdani.

Dengan ditopang asumsi makro inflasi sebesar tiga persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, target pajak 2022 relatif akan tercapai.

Kendati begitu, Ajib menilai dua hal yang menjadi tantangan dalam upaya pengumpulan pajak di tahun depan adalah tentang integrasi data dan penguatan lembaga otoritas.

Dengan asas perpajakan yang dianut di Indonesia dengan self assessment, maka kunci pencapaian penerimaan adalah efektivitas edukasi dan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas karena wajib pajak melakukan penghitungan pajaknya sendiri, menyetor, dan kemudian melaporkan ke kantor pajak.

Fungsi dari kantor pajak adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan kewajiban para wajib pajak tersebut, sehingga integrasi data yang valid bisa menjadi instrumen yang sangat efektif untuk melakukan pengawasan ini.

DJP dengan struktur 34 Kantor Wilayah, 4 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar, 9 KPP Khusus, 38 KPP Madya, 301 KPP Pratama, dan 204 KP2KP adalah struktur organisasi yang sangat kuat.

Dengan demikian, struktur yang ada tersebut harus dibekali dengan penguatan regulasi dan eksekusi di lapangan.


Baca juga: CITA perkirakan penerimaan pajak 2022 lanjutkan kinerja baik

Baca juga: Menkeu sebut penerimaan pajak 2021 lampaui target

Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021