juga tentang hidup dan mati
Jakarta (ANTARA) - Dalam semesta ciptaan sutradara Giddens Ko, jiwa seorang yang sudah meninggal memiliki dua pilihan; bereinkarnasi menjadi makhluk seadanya sesuai dengan karma yang ia miliki atau menjadi dewa yang melakukan pekerjaan sementara di bumi untuk mengumpulkan karma baik.

Pilihan itulah yang dihadapkan pada Ah Lun (diperankan oleh Kai Ko) dan Pinky (diperankan oleh Gingle Wang) setelah keduanya mengalami kematian dan tiba di alam baka dalam film “Till We Meet Again”.

Awalnya, baik Ah Lun maupun Pinky tidak pernah mau akur. Namun usai keduanya berjuang keras agar lolos menjadi dewa-dewi cinta daripada memilih bereinkarnasi menjadi makhluk berkasta rendah, Ah Lun dan Pinky segera menjadi pasangan dewa-dewi cinta yang bertugas di bumi untuk menyatukan sepasang kekasih lewat benang merah tak kasat mata.

Sementara Pinky masih mengingat detik-detik bagaimana ia mati dan kehidupan yang ia jalani sebelum mati, Ah Lun mengalami amnesia akibat tersambar petir sesaat sebelum meninggal serta mencoba memungut kembali ingatan dan kenangan hidupnya.

Baca juga: 7 film bertema lingkungan yang wajib ditonton di Hari Lingkungan Hidup

Baca juga: Lima rekomendasi tayangan fiksi ilmiah yang memukau

 
Aktor Gingle Wang dan Kai Ko dalam film “Till We Meet Again” karya Giddens Ko. (ANTARA/HO-CBI Pictures)


Dalam sebuah wawancara dengan Screen Daily, sutradara Ko mengaku mulanya sangat terharu dengan konsep cerita kehidupan setelah mati dan karma yang menyertai manusia ketika menonton film Korea “Along With The Gods” (2017). Berangkat dari situ, ia terpicu membuat “Till We Meet Again”.

“Saya berpikir untuk membuat film berdasarkan novel yang saya tulis hampir 20 tahun yang lalu, juga tentang hidup dan mati,” katanya, dikutip pada Rabu.

Sebelum menjadi sutradara, Ko dikenal sebagai novelis yang telah menelurkan puluhan karya populer di Taiwan, termasuk “God Of Love” yang akhirnya ia adaptasi menjadi film ini.

Ko merajut konsep reinkarnasi dengan mitologi benang merah takdir melalui cara-cara yang ringan dan komikal. Gambaran alam baka ciptaan Ko bukanlah dunia yang sama sekali asing antah-barantah––bahkan Ko menampilkan dewa-dewi cinta yang mengenakan seragam sekolah modern dan para petugas dunia bawah yang mencatat rekam jejak jiwa dengan komputer pentium satu.
Aktor Gingle Wang dan Kai Ko dalam film “Till We Meet Again” karya Giddens Ko. Tampak Kai Ko mengenakan gelang karma yang menandakan kebaikan dan keburukan. (ANTARA/HO-CBI Pictures)


Perlu diketahui bahwa konsep reinkarnasi dan benang merah takdir berkembang luas dalam kebudayaan masyarakat Asia Timur.

Reinkarnasi, sebagaimana yang kerap kita dengar, ialah kepercayaan terhadap jiwa yang akan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Selama siklus reinkarnasi, manusia memiliki tanggung jawab untuk melakukan kebaikan.

Dalam “Till We Meet Again”, apabila jiwa seseorang lebih banyak melakukan karma buruk (yang ditandai dengan manik-manik gelang berwarna hitam), maka kemungkinan besar ia akan terlahir kembali sebagai hewan. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki banyak karma baik, maka ia akan bereinkarnasi menjadi manusia yang dianggap makhluk berkasta tinggi.

Ko juga tampaknya ingin menunjukkan bahwa jiwa-jiwa yang dipenuhi dendam bahkan lebih buruk nasibnya daripada mereka yang bereinkarnasi menjadi hewan, yakni berubah menjadi hantu jahat. Sayangnya, subplot mengenai hantu jahat yang digambarkan oleh Ko seolah-olah tak punya efek signifikan dalam koherensi cerita.
 
Benang merah takdir dalam film “Till We Meet Again” karya Giddens Ko (ANTARA/HO-CBI Pictures)


Meski demikian, subplot romansa dalam “Till We Meet Again” cukup menarik dan menjadi point of interst cerita. Plot utamanya adalah hubungan cinta antara Ah Lun dan Xiao Mi (diperankan oleh Vivian Sung), di sisi lain ada pula lapisan cerita antara Pinky dan mantannya, Ah Lun dan Pinky, serta Xiao Mi dan pasangan barunya.

Kisah-kisah romansa itu terjalin berkat mitologi benang merah takdir. Dalam mitologi aslinya yang berasal dari Tiongkok, dewa “mak comblang” itu bernama Yuè Lǎo. Ia bertugas mengikatkan benang merah tak kasat mata kepada sepasang kekasih yang sudah ditakdirkan untuk bersama.

Ah Lun dan Pinky sukses melakoni tugas-tugas mak comblang itu hingga berhasil mengumpulkan karma-karma baik yang menjadi tiket emasnya jika bereinkarnasi kelak. Namun suatu hari Ah Lun mendapatkan masalah usai ingatannya pulih. Ia harus mengikatkan benang merah untuk Xiao Mi, kekasih Ah Lun saat ia masih hidup.

Barangkali yang patut disyukuri bagi Ah Lun karena benang merah yang diikatkan antara Xiao Mi dan beberapa orang “percobaan” justru putus terus-menerus, bahkan ratusan dewa yang telah dikerahkan pun sama gagalnya. Dengan kata lain, Xiao Mi mampu menolak “takdir” benang merah itu dan hatinya tetap memilih Ah Lun meski sudah meninggal.
Aktor Kai Ko dan Vivian Sung dalam film “Till We Meet Again” karya Giddens Ko. (ANTARA/HO-CBI Pictures)


Alur cerita “Till We Meet Again” cukup menyimpan banyak kejutan, termasuk akan memberikan “pencerahan” bagi penonton yang menyimpan tanya dalam benak mengapa hanya Xiao Mi seorang yang mampu menolak “takdir” benang merah.

Ko melalui film ini seolah-olah menampilkan kembali imaji-imaji yang selama berabad-abad diamini umat manusia sekaligus menjadi tanda tanya besar dalam sejarah peradaban manusia, ialah bahwa cinta sejati itu ada. Pun seandainya ia telah berkali-kali mengalami reinkarnasi, manusia menyimpan harapan untuk dipertemukan kembali dengan kekasih sejatinya.

Seperti sebagian besar karya sebelumnya yang ia sutradai, Ko masih menggarap cinta sebagai tema utama. Tetapi “Till We Meet Again” mampu digarap Ko dengan warna yang segar, terutama yang patut diapresiasi ialah sisi komedinya yang membuat penonton ikut tertawa atau sekadar menyunggingkan senyum.

Ko sebelumnya dikenal berkat menyutradarai “You Are The Apple Of My Eye” (2011) yang sukses di pasaran dan di beberapa festival film, termasuk diputar perdana di Festival Film Taipei dan memenangkan sejumlah penghargaan seperti Golden Horse Awards dan Chinese Film Media Award.

Kisah romansa dalam “You Are The Apple Of My Eye” memang lebih intim dan personal ketimbang “Till We Meet Again”, namun keduanya masih sama-sama menimbulkan kesan manis di mata penonton.
 
Para dewa cinta dalam film “Till We Meet Again” karya Giddens Ko. (ANTARA/HO-CBI Pictures)


Dalam “Till We Meet Again”, penonton akan bertemu kembali dengan aktor Kai Ko dalam versi yang sama sekali berbeda jika dibandingkan perannya dalam “You Are The Apple Of My Eye”. Kai Ko yang dulu memerankan karakter seorang anak SMA yang nakal, kini kembali dengan karakter seorang muda jelang dewasa yang komikal sekaligus melankolis.

Meski tampaknya tidak sefenomenal “You Are The Apple Of My Eye”, secara keseluruhan film “Till We Meet Again” yang berdurasi 128 menit ini cukup menghibur dan meninggalkan kesan tersendiri bagi penonton.

“Till We Meet Again” pernah ditayangkan sebagai film pembuka di Bucheon International Fantastic Film Festival (Bifan) pada Juli 2021. Film ini juga telah mendapatkan 11 nominasi di Golden Horse Awards 2021.

Mulai hari ini, penonton di Indonesia sudah bisa menikmati “Till We Meet Again” karya Giddens Ko ini di bioskop CGV Indonesia.

Baca juga: "Demon Slayer" jadi film terbesar di Taiwan

Baca juga: China daratan tangguhkan kesertaan dalam festival film Taiwan

Baca juga: Film dan serial TV Korsel resmi tayang kembali di China

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022