Surabaya (ANTARA News) - Budayawan WS Rendra turut menguji kepakaran Dr Soetanto Soepiadhy di bidang hukum tata negara dalam ujian kandidat doktor di Universitas Tujuhbelas Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Senin. Dalam ujian itu, Rendra menjadi penguji tamu bersama mantan Gubernur Jatim, HM Basofi Soedirman, sedangkan ketua tim penguji adalah pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof Dr Sri Soemantri. Kendati WS Rendra merupakan teman Soetanto Soepiadhy saat mendeklarasikan Gerakan Kepatutan pada 2 Desember 2004, namun budayawan yang dijuluki "Si Burung Merak" itu tampak kritis mengajukan pertanyaan kepada kawannya yang juga dosen tetap FH Untag Surabaya tersebut. "Sebagai pakar hukum tata negara, apa tanggapan anda tentang tatanan hukum di Indonesia yang cukup baik, tapi dalam praktek justru belum ada keberpihakan kepada rakyat, bahkan militer lebih berperan seperti dalam kasus Marsinah," kata Rendra. Hal yang hampir sama juga ditanyakan sejumlah penguji kepada penulis disertasi bertajuk "Perubahan UUD 1945 Dalam Prospek Perkembangan Demokrasi" itu, termasuk dari mantan Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman. Menanggapi pertanyaan itu, Soetanto Soepiadhy yang juga penulis buku "Meredesain Konstitusi" tersebut mengatakan, hukum di Indonesia memang masih represif dan elitis, sehingga pelaksanaannya tidak populis atau berpihak kepada rakyat. "Konfigurasi politik di Indonesia memang cukup demokratis, tapi kenyataan itu belum tentu menghasilkan produk hukum yang populis, bahkan justru bisa sangat elitis. Hal itu akibat prosedur dan substansi hukum tak terpenuhi dalam UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen," katanya. Menurut Soetanto Soepiadhy yang juga dosen FH Universitas Narotama (Unnar) Surabaya, hukum akan menjadi populis bila prosedur pembuatannya melalui proses yang partisipatoris, karena itu pihaknya menggagas perlunya Komisi Konstitusi. "Kalau prosesnya partisipatoris, maka substansi yang dihasilkannya juga akan demokratis. Komisi Konstitusi itu akan memproses pembuatan atau amandemen UUD 1945 dengan memulai dari perdebatan atau sosialisasi di tingkat masyarakat," ucapnya. Komisi Konstitusi (KK) itu, katanya, merupakan komisi yang sangat independen dan bukan Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA), karena KK bertugas merumuskan UUD 1945, sedangkan MK mengurus perbaikan UU dan MA mengurus produk hukum di bawah UU. "Kalau KK yang saya gagas itu benar-benar diwujudkan, maka produk hukum yang ada akan berpihak kepada rakyat, karena melalui masukan dari masyarakat banyak yang diserahkan kepada KK, lalu diperdebatkan dan akhirnya diserahkan kepada MPR," ujarnya. Ia menyatakan, MPR nantinya dapat menerima atau menolak hasil kerja KK yang merujuk pada masukan rakyat. "Tapi, kalau menerima, maka MPR tak boleh mengubah satu pasal pun, sedangkan jika menolak, maka MPR harus melakukan referendum," ucapnya. Penerima Predential Award for Recruitment JCI dari Amerika itu menambahkan, Amerika sendiri sudah mengubah UUD mereka sebanyak 27 kali, sedangkan Indonesia sudah empat kali mengubah secara amandemen (sebagian). "Yang diperlukan adalah re-desain (perombakan secara total) dan itu perlu prosedur dan substansi yang berawal dari bawah (rakyat)," kata doktor yang menerima predikat "Sangat Memuaskan" dalam ujian itu.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006