Jakarta (ANTARA News) - Konferensi Tingkat Tinggi ke-23 ASEAN dan pertemuan-pertemuan terkait di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan telah berakhir.

Tetapi bagi ASEAN isu Laut China Selatan tampaknya masih jadi tantangan yang paling menjengkelkan.

Seusai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), 10 pemimpin negara/pemerintahan anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) itu mengadakan pertemuan ASEAN+3, ASEAN-Jepang, ASEAN-China, ASEAN-Korea Selatan, ASEAN-India, ASEAN-Amerika Serikat, ASEAN-Australia, ASEAN-Selandia Baru, ASEAN-Rusia dan ASEAN-Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

ASEAN yang terbentuk tahun 1967 beranggota Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Terkait Laut China Selatan (LCS), persoalan di perairan itu telah menjadi pekerjaan rumah lebih satu dekade bagi beberapa negara anggota ASEAN khususnya dan ASEAN sendiri atau bagi China, bahkan negara-negara di luar wilayah itu memiliki kepentingan.

Mereka beradu argumentasi dan merujuk kepada hukum-hukum di dalam negerinya masing-masing atau kepada hukum internasional.

Mark J. Valencia dalam tulisannya The South China Sea: Back to the Future? berpendapat bahwa perairan itu menjadi kawasan sengketa berbahaya dalam perebutan pengaruh atau hegemoni di Asia antara China dan Amerika Serikat (Global Asia, 2010).

Negara-negara di Asia Tenggara berada di tengah-tengah pusaran pengaruh dua negara kekuatan besar itu ditambah India dan Jepang.

Perselisihan teritorial maritim di LCS memiliki potensi untuk berkembang menjadi konflik antarnegara yang mengklaim sebagian atau seluruhnya dari kawasan itu merupakan bagian dari kedaulatannya. Tumpang-tindih klaim di antara Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam yang notabene merupakan anggota ASEAN dan juga China serta Taiwan menimbulkan ketegangan.

Puncak ketegangan pernah terjadi, yang ditandai dengan pendudukan baru, klaim baru, penangkapan kapal ikan dan kegiatan-kegiatan lain. Para pihak yang terkait masalah itu tidak hanya menggunakan kata-kata keras dan provokatif satu sama lain tetapi juga mempersiapkan skenario menggunakan kekuatan jika terjadi hal-hal yang lebih buruk.

Mereka meningkatkan belanja untuk peralatan militer. Vietnam dan Filipina pernah menuding China sebagai negara besar di kawasan itu ditinjau dari kapabilitas militer dan ekonominya menjadi bertambah agresif dalam menyatakan klaimnya atas kawasan itu.

"Negara-negara anggota ASEAN telah bersepakat menggunakan pendekatan hukum internasional dan tidak menggunakan pendekatan perang alias dibawa ke ranah multilateral atas negara-negara yang klaimnya saling tumpang-tindih," kata Dr Connie Rahakundini Bakrie, dosen Universitas Indonesia, mengomentari isu Laut China Selatan (LCS) yang dibahas KTT ASEAN itu.

China berusaha menjamin negara-negara anggota ASEAN bahwa pihaknya merupakan tetangga yang bersahabat, bertekad meningkatkan kerja sama dengan ASEAN dan menciptakan kawasan itu damai.

Ketegangan di LCS sebenarnya tak perlu terjadi jika para pihak berkelakuan sesuai dengan butir-butir dalam "Declaration on the Code of Conduct (DOC)" tahun 2002 yang dibuat dan disepakati bersama untuk mengelola konflik. DOC merupakan prestasi yang dicapai para pihak untuk menyelesaikan perselisihan di LCS menuju perdamaian dan stabilitas di kawasan itu.

Karena DOC bersifat tidak mengikat untuk menjamin usaha menahan diri dan implementasi komitmen para pihak, maka para pengamat dan akademisi berpendapat para pihak perlu memiliki "Code of Conduct (COC)" atau kode etik yang mengikat secara hukum.

Pengamat hubungan internasional Dinna Wisnu PhD mengatakan dia melihat ada rasa kurang percaya di antara sesama anggota ASEAN dan sayangnya salah satu faktornya muncul karena sikap China yang keras di LCS.

"Padahal sulit untuk bisa membangun COC jika sesama anggota ASEAN pun saling tidak percaya," kata Dinna.

Dia menyebut Filipina yang membawa kasus ini ke International Court of Justice, Kamboja yang merasa dijelek-jelekkan karena Joint Communique gagal diambil pada masa kepemimpinannya tahun 2012 dan Vietnam yang merasa ASEAN kurang gigih terhadap China.

"Kalaupun COC berhasil terbentuk, do dan don't dari COC hanya akan efektif jika para pihak bisa saling menegakkan COC. Artinya kekompakan itu tidak boleh hanya sesaat," kata Dinna, Direktur Pascasarjana Universitas Paramadina.

Dalam wawancara dengan majalah Indonesia Forbes, September 2013, Duta besar China untuk Indonesia Liu Jianchao menyinggung soal perselisihan territorial China dengan beberapa negara atas wilayah LCS tetapi China tidak mempunyai perselisihan dengan Indonesia.

Menurut dia, China bermaksud menyelesaikan masalah itu dengan negara-negara tersebut melalui dialog dan diplomasi.

"Sebelum satu solusi dapat dicapai, China berkeinginan bekerja sama dengan negara-negara tersebut atas dasar DOC untuk menghindari ketegangan lebih lanjut," kata Liu.

Dia juga mengatakan kerja sama maritim dan hubnungan ekonomi antara China dan Indonesia saat ini tidak terganggu oleh isu-isu LCS. Indonesia juga akan meyakinkan negara-negara yang terlibat berbuat sesuai dengan DOC.



Sikap Indonesia

Connie, yang juga Direktur Eksekutif The Institute of Defence and Security Studies mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menjelaskan sikap Indonesia yang tidak melakukan konfrontatif dan Kemeneterian Luar Negeri RI menterjemahkannya dengan melakukan langkah-langkah memediasi perdamaian antara pihak-pihak yang saling klaim.

Menurut dia, seharusnya Indonesia sebagai saudara tua ASEAN dapat lebih mandiri dalam bersikap dan memandang China lebih kepada kawan daripada lawan yang harus digempur beramai-ramai dengan menggunakan ASEAN sebagai kendaraan.

Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya tidak boleh lagi terjebak pada diplomasi semu menggunakan istilah-istilah indah tapi terus membuat Indonesia terbawa arus mengikuti pandangan ASEAN yang sesungguhnya terpecah, kata Connie.

"Pendekatan bilateral yang dipilih China terhadap negara-negara yang turut mengklaim wilayah LCS seharusnya dapat didorong untuk mrnghindari pengaruh negara-negara non-claimants tetapi punya kepentingan besar dengan isu-isus LCS," kata dia.

Dengan kata lain Indonesia harus bisa bersikap lebih jelas dan berani akan kepentingannya membangun hubungan yang lebih dekat dengan China. "Ketegasan Indonesia dan kemandiriannya dalam bersikap akan malah lebih menunjukkan bahwa Indonesia lebih bertanggung jawab akan terwujudnya regional equilibrium yangg selama ini dicanangkan," kata Connie.

Pakar politik Samuel Philips Huntington jauh-jauh hari telah menyatakan hanya dua negara yang dapat menangani China di kawasan ini berdasarkan sejarahnya. Satu di antaranya adalah Indonesia. Karena itu, kata Connie, jika Indonesia ikut membiarkan ASEAN "dikendarai" kepentingan negara-negara non-claimants dengan kepentingan besar atas isu-isu Laut China Selatan sesungguhnya akan merusak mimpi ASEAN.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013