Kan saya pakai screen reader di handphone untuk baca SMS atau pesan-pesan di media sosial."
Surabaya (ANTARA News) - Bagi orang kebanyakan rasanya sulit percaya bila ada tunanetra membuat rekaman catatan harian bergambar dan suara (video diary). Bagaimana caranya? Bukankah dia tidak bisa melihat? Apalagi, bila tim pembuat video juga sama-sama disabilitas.

Tapi, Jejen Juanda membuktikan bahwa video diary bukanlah masalah, walau ia tunanetra. Bahkan, Jejen merasa senang dengan pengalamannya.

"Saya bahagia karena ada karya saya yang masih bisa digunakan, meski bagian yang kabur atau gambarnya melenceng tidak bisa dipakai," ucap anak kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, itu.

Ditemui setelah menyampaikan kesaksian pengalaman di Tunjungan XXI, Tunjungan Plasa, Surabaya, pada awal Desember lalu, Jejen mengaku sudah lama menyukai drama radio.

"Akhirnya, saya tahu pengumuman dari laman Yayasan Kampung Halaman dan facebook bahwa Yayasan Kampung Halaman mau mengadakan workshop video diary, maka saya coba ikut," tukasnya.

Laman dan facebook di Internet? Bagaimana bisa? "Ya, saya sering mem-browsing laman dan facebook yang sudah menggunakan aplikasi suara. Kan saya pakai screen reader di handphone untuk baca SMS atau pesan-pesan di media sosial. Semua teks bisa diubah jadi suara," katanya.

Remaja yang baru saja lulus sekolah menengah atas luar biasa (SMA LB) Lestari di Tasikmalaya (2013) itu langsung mengajukan diri untuk mengikuti workshop, karena dirinya memang hobi dengan cerita dan sandiwara radio.

"Awalnya sih coba-coba, karena saya tidak dapat melihat objek yang akan saya rekam gambarnya, tapi ternyata saya bisa, meski sempat mengalami kesulitan," ujarnya.

Lantas, bagaimana caranya mengetahui objek? "Caranya, saya arahkan kamera pada sumber suara yang saya dengar, hasilnya ada yang kabur gambarnya, tapi ada hasil yang masih bisa dipakai," tuturnya.

Setelah diberitatahu teman bila ada sebagian gambarnya yang dipakai dalam film itu, ia mengaku sangat bahagia, karena merasa usahanya tidak sia-sia karena masih ada yang bisa digunakan sebagai dokumen.

"Bahkan, saat diajak ke gedung film ini, saya juga bahagia, meski tidak bisa menonton gambarnya dan hanya mendengarnya, tapi ini pengalaman pertama ke bioskop," paparnya.

Berkaitan dengan kemungkinan dirinya terlibat dalam pembuatan film lagi, ia mengatakan, merasa lebih cocok dengan drama radio. "Kalau film bisa juga, tapi mungkin lebih pas pada editing audio," ujarnya menegaskan.

Sulitnya kerja sama antar-disabilitas pun diakui Puti Irra Puspasari, seorang tunarungu. Awalnya, ia juga bingung saat hendak berkomunikasi dengan Jejen Juanda.

"Itu karena saya mengandalkan komunikasi dengan bahasa isyarat, sedangkan Jejen justru tidak bisa melihat bahasa isyarat saya. Tapi, ternyata nggak susah dengan kecanggihan teknologi komunikasi, karena Jejen pakai screen reader di handphone," ulasnya.

Ya, bagi Jejen dan banyak tunanetra memanfaatkan produk teknologi informasi dan peralatannya dalam genggaman (gadget), termasuk aplikasi pembaca layar (screen reader) yang menjadi sarana komunikasi paling efektif lantaran pesan dapat tertulis maupun bersuara.

Oleh karena itu, Laura Wijaya yang tunarungu pun berharap masyarakat dapat lebih memahami pentingnya bahasa isyarat bagi kalangan seperti dirinya melalui video diary.

Hal itu dibenarkan pula oleh Yudhi Hermawan yang tunanetra. "Ini merupakan pengalaman yang luar biasa, dan saya berharap video-video ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama para pembuat keputusan, tentang disabilitas," katanya.

Dalam workshop tersebut, ada 19 penyandang keterbatasan (disabilitas) penglihatan, pendengaran, dan fisik diajak melakukan riset atas persoalan yang mereka hadapi, kemduaian mengambil gambar dan suara hingga proses penyuntingan (editing).

Mereka didampingi mentor dan fasilitator dari berbagai latar belakang profesi, yakni Arfan Sabran (sutradara film dokumenter), Abu Juniarenta (Yayasan Kampung Halaman/YKH), Raphael Wregas Banutedja (sutradara), dan Irwan Nuryadi (YKH).

Setelah berdiskusi ala disabilitas, maka belasan penyandang cacat yang mengikuti workshop pembuatan film akhirnya menyepakati dua tema, yakni akses mereka dalam pekerjaan yang terkadang gagal, karena aplikasi lamaran yang dimasukkan tidak berujung pada pemanggilan untuk tes.

Tema lain yang mereka pilih tentang kemampuan menjangkau (aksesbilitas)-nya ke sejumlah bangunan, seperti gedung pemerintahan dan fasilitas umum yang dinilai tidak ramah kepada disabilitas. Misalnya, mereka kesulitan naik bus lintas khusus (busway) yang harus naik tangga, sehingga justru menyulitkan mereka.

Dua tema itu dituangkan dalam video diary berjudul "Job (Un) Fair" (pekerjaan tidak adil) dan "Mana Akses Kami" yang berdurasi total 30 menit. Video diary yang merekam keseharian, perjuangan, dan harapan para penyandang disabilitas itu dibuat selama Oktober 2013.

Video diary mengenai akses terhadap pekerjaan dan fasilitas umum yang difasilitasi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Yayasan Kampung Halaman tersebut dibuat dalam peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasional.

Pesan utama dalam dua video itu memberikan ruang, peluang, dan perlakuan yang sama bagi penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengakuan bahwa mereka adalah bagian dari keberagaman Indonesia.

"Kami harapkan video ini dapat membantu menghapuskan segala bentuk hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas, dari sikap, fisik, ekonomi dan budaya, dan akan membantu masyarakat luas belajar mendengarkan dan memahami suara dan cara pandang disabilitas tentang pekerjaan dan kehidupan mereka," kata Ketua YKH Dian Herdiany.

Tentang akses menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) bagi penyandang disabilitas itu, Asisten III Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur (Setdaprov Jatim) Edi Purwinarto berjanji akan menyurati Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN/RB) untuk menanyakan peluang penyandang disabilitas mendaftar CPNS.

"Kementerian PAN/RB hanya mengatur bahwa CPNS harus sehat jasmani dan rohani, tapi sehat jasmani tidak diberi tafsir," katanya, setelah menyaksikan pemutaran video diary karya belasan disabilitas di Studio Tunjungan XXI, Tunjungan Plasa, Surabaya, itu.

Menurut dia, sehat jasmani tanpa penjelasan itulah yang membuat disabilitas tidak diterima saat mendaftar CPNS.

"Karena itu, tafsir sehat jasmani itu harus ada, karena sehat jasmani itu bukan berarti cacat (disabilitas), apalagi cacat secara fisik itu bukan berarti kemampuan mereka itu jelek," katanya.

Apalagi, katanya, undang-undang (UU) dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) RI mengatur kewajiban untuk memberikan peluang kepada disabilitas menjadi PNS minimal satu persen.

"Masalahnya, aturan itu belum nyambung dengan aturan pada Kementerian PAN/RB, karena itu kami akan menanyakan," katanya.

Berkaitan dengan aksesbilitas sejumlah bangunan seperti gedung pemerintahan dan fasilitas umum yang tidak ramah dengan disabilitas, ia menyatakan Pemprov Jatim sudah mengesahkan peraturan daerah (Perda) 13/2013 untuk layanan teknis dan manfaat bagi disabilitas.

"Aturannya sudah ada bahwa gedung pemerintahan dan fasilitas umum yang bersahabat dengan penyandang cacat harus diupayakan kalangan pemerintah dan swasta dengan waktu maksimal pada 2015," katanya.

Ikhsan selaku Perwakilan dari PT Omega Plastik, Sidoarjo, dalam kesempatan itu mengemukakan bahwa disabilitas memiliki kemampuan yang bisa mengalahkan pekerja normal, asalkan mereka dilatih untuk bidang pekerjaan tertentu.

"Misalnya, kami memiliki 35 dari 120 karyawan yang disabilitas. Hasilnya, pekerjaan disabilitas bisa menghasilkan 800 barang dalam delapan jam, padahal pekerja normal hanya 500 barang, karena mereka lebih fokus dalam pekerjaan," katanya menambahkan. (*)

Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014