Kita harus mempunyai komoditas andalan untuk ditingkatkan,"
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah berupaya untuk menekan defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir, kata Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman di Jakarta, Senin.

Menurut dia, seusai mengikuti Pertemuan Tingkat Tinggi Kedua Indonesia-Tiongkok untuk membahas Kerja Sama Ekonomi, salah satu upaya pemerintah tersebut adalah dengan mendorong ekspor berbagai produk unggulan.

"Kita harus mempunyai komoditas andalan untuk ditingkatkan," kata Rizal yang dalam pertemuan tersebut, mendampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, bertemu dengan anggota Dewan Negara Yang Jiechi yang memimpin delegasi pemerintah Tiongkok.

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan pertama yang berlangsung pada 26 Januari 2015 di Beijing, Tiongkok.

Rizal mengatakan ekspor produk unggulan itu sangat penting untuk menggantikan komoditas batu bara, yang harganya sedang jatuh di pasar internasional, dan selama ini menjadi salah satu produk utama ekspor Indonesia ke Tiongkok.

"Ekspor kita ke Tiongkok 26 persen batu bara dan harganya sedang turun, sehingga nilai ekspor juga turun, apalagi permintaan dalam negeri Tiongkok juga turun karena ekonomi yang sedang lesu," katanya.

Selain itu, tambah Rizal, upaya lainnya untuk mengatasi masalah perdagangan kedua negara adalah dengan melakukan negosiasi terkait hambatan akses perdagangan, akibat adanya hambatan non tarif, yang masih dialami oleh produk asal Indonesia.

"Masih ada 28 produk komoditas hilir kita masih ditutup Tiongkok dalam kerangka ASEAN-China FTA dan komoditas andalan kita seperti karet yang bea masuknya 20 persen, tentu kalau diturunkan menjadi nol, potensi ekspor karet kita bisa meningkat. Ini masih dirundingkan," katanya.

Dalam pertemuan tersebut, juga dibahas isu mengenai industri dan investasi, diantaranya termasuk isu izin tinggal bagi tenaga kerja asing, kawasan industri terpadu, pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur serta kerja sama dalam bidang energi, pertanian dan perikanan serta keuangan.

Sementara, untuk mendorong tingkat realisasi investasi asal Tiongkok di Indonesia yang masih rendah, pemerintah secara khusus akan membentuk "China Desk" di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta membuka Indonesia Investment Promotion Center (IIPC) di Beijing dan Shanghai.

"Pembentukan desk di BKPM akan bermanfaat untuk mengetahui masalah investor asal Tiongkok dan pembentukan IIPC untuk mempromosikan peluang usaha dan kemudahan yang di tawarkan di Indonesia. Mudah-mudahan ini bisa mendorong minat investasi," kata Rizal.

Terkait Bilateral Currency Swap Agreement antara Indonesia dan Tiongkok, juga dibahas mengenai perpanjangan masa kerja sama yang rencananya berakhir pada Oktober 2016 itu, dengan mencakup nilai kerja sama baru, dari sebelumnya 100 miliar Yuan, menjadi 130 miliar Yuan.

Dalam kesempatan itu, pemerintah Tiongkok juga menawarkan pinjaman dengan skema Preferential Buyers Credit (PRC) sebesar 10 miliar dolar AS untuk pembiayaan proyek infrastruktur di kawasan ASEAN dan Indonesia diharapkan bisa mengambil keuntungan dari tawaran pinjaman tersebut.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016