Jakarta (ANTARA News) - Pemerhati pendidikan Indra Charismiadji mengatakan penggunaan data pokok pendidikan (dapodik) sebagai basis penyaluran Kartu Indonesia Pintar (KIP) dinilai tidak tepat.

"Karena dapodik tidak bisa menjangkau anak yang tidak sekolah, sementara KIP hakikatnya ingin mengajak anak-anak yang putus sekolah kembali ke sekolah," ujar Indra di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan KIP berawal dari keinginan Presiden Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Jokowi melihat angka partisipasi kasar (APK) Jakarta tidak sampai 100 persen.

Ternyata salah satu sebabnya adalah siswa miskin putus sekolah karena tak ada biaya untuk pergi ke sekolah, meskipun sekolah sudah gratis.

"Makanya dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP) mendorong APK Jakarta naik," ujarnya.

Pada saat menjadi Presiden, Jokowi kemudian menerapkannya ke dalam KIP.

Indra menjelaskan jika KIP bertujuan untuk mengajak anak putus sekolah berusia enam hingga 19 tahun untuk kembali ke sekolah.

"Sementara dapodik hanya data bagi anak-anak yang sudah bersekolah," kata dia.

Seharusnya, solusi untuk penyaluran KIP adalah dengan melibatkan pemerintah daerah, karena pemerintah daerah yang tahu mengenai penduduknya sendiri.

"Pemda harus dilibatkan untuk penyaluran KIP," katanya.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan pihaknya akan menggunakan data pokok pendidikan sebagai basis penyaluran KIP.

"Pada 2017, kami tidak lagi menggunakan data yang berasal dari Kementerian Sosial, namun menggunakan dapodik," kata Mendikbud.

Kemdikbud sebelumnya menggunakan data dari Kemensos sebagai basis data yang berdasarkan data kemiskinan di masyarakat yang berisi anak tidak mampu dan tidak sekolah.

Penggunaan basis data yang tak sesuai tersebut, yang menyebabkan terjadinya keterlambatan penyaluran kartu.

"Sehingga penyaluran kartunya nanti lebih sederhana, karena sudah ada di sekolah masing-masing," lanjut Mendikbud.

(I025)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017