Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi mengatakan MUI tidak menganjurkan nikah secara diam-diam (siri) karena pernikahan jenis itu tidak memiliki landasan hukum atau pengakuan negara sehingga rentan terjadi sengketa tidak berkesudahan.

"MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Zainut di Jakarta, Senin.

Meskipun nikah siri sah secara agama, kata dia, tapi pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan tidak adanya kekuatan hukum, maka baik istri maupun anak berpotensi menderita kerugian akibat pernikahan tersebut.

Dia mengatakan perkawinan seperti itu seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap istri dan anak yang dilahirkannya, terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak kewarisannya.

Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut, kata dia, seringkali menimbulkan sengketa. Sebab tuntutan akan sulit dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.

Untuk menghindari kemudaratan, ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi yang berwenang.

Menurut dia, pernikahan di bawah tangan atau nikah siri hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah. Rukun pernikahan dalam Islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar serta ijab dan kabul.

Akan tetapi, lanjut dia, pernikahan tersebut bisa menjadi haram jika menimbulkan mudarat atau dampak negatif.

MUI juga telah mengeluarkan fatwa terkait pernikahan tersebut sesuai hasil keputusan Ijtima Ulama se-Indonesia ke-2 di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur tahun 2006.

Dia mengatakan MUI berpandangan tujuan pernikahan itu sangat luhur dan mulia untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang tidak sekedar memenuhi kebutuhan nafsu dasariah manusia saja yaitu hanya pemenuhan kebutuhan seks semata.

"Pernikahan merupakan institusi yang sakral yang harus dijaga dan dipelihara. Tidak boleh direndahkan dan dijadikan sebagai komoditas perdagangan semata. Jika hal tersebut terjadi maka sama halnya merendahkan nilai-nilai kemanusiaan," kata dia.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017