Jakarta (ANTARA News) - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran mengatakan harga batu bara harus dapat dikontrol apabila ingin dimasukan dalam komponen perhitungan tarif listrik, agar tidak memberatkan konsumen.

"Pemerintah harus mematok harga batu bara di hulu agar tidak membuat harga listrik mengalami kenaikan," kata Tumiran dalam diskusi yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis.

Dengan demikian pentingnya mengatur batas atas dan batas bawah harga batu bara terlebih dahulu apabila ingin memasukkan ke dalam komponen perhitungan tarif listrik, kata Tumiran.

Tumiran mengatakan, harga batu bara jangan diserahkan kepada mekanisme pasar karena sangat fluktuatif dan sulit diatur tentunya akan membuat tarif listrik menjadi sulit dikendalikan.

Selain itu, apabila harga batu bara untuk pembangkit listrik tidak diatur negara, akan berdampak pada naiknya Biaya Pokok Produksi (BPP). Mengingat hampir 57 persen pembangkit yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar.

"Kalau BPP naik konsekuensinya subsidi naik. Kalau dapat (penerimaan negara) banyak, subsidi cukup, tidak masalah. Tapi kalau untuk subsidi saja sulit kenapa harus naik," kata dia.

Dia mengakui bahwa saat ini PLN tidak menaikkan tarif listrik. Namun, kebijakan menahan tarif listrik agar tidak naik itu bisa berdampak pada naiknya subsidi listrik.

Dengan demikian, jika harga batu bara tidak di atur, maka yang dirugikan adalah masyarakat. Sebab, uang pajak yang dibayar masyarakat harus dipakai untuk menutup kekurangan subsidi listrik. Selain itu, tarif listrik listrik non subsidi menjadi mahal akibat naiknya BPP.

Sedangkan Pengamat Energi dari UGM, Fahmy Radhi menilai rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memasukan komponen batu bara dalam formula penghitungan listrik, disamping inflasi, kurs dolar Amerika Serikat dan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sebagai langkah wajar.

Bagi Fahmy, formula penetapan tarif listrik yang selama ini menggunakan tiga komponen utama sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang.

"Penggunaan variable ICP lantaran pada saat itu proporsi penggunaan pembangkit listrik tenaga diesel masih sangat besar. Sekarang ini kondisinya sudah berubah secara signifikan. Penggunaan tenaga diesel semakin menurun hingga kini tinggal sekitar 6 persen dari total energi primer yang digunakan," ujarnya menjelaskan.

Fahmy mengatakan, penggunaan energi batu bara meningkat pesat hingga sekarang mencapai sekitar 57 persen. Dengan perubahan proporsi penggunaan energi dasar itu, maka formula penetapan tarif sebelumnya sudah tidak lagi relevan sehingga perlu formula yang memasukkan Harga Batu bara Acuan (HBA), selain ICP dalam formula baru.

Namun, memasukkan variabel HBA dalam penentuan tarif listrik di tengah kenaikan harga batu bara yang melambung, bisa berdampak pada kenaikan tarif listrik yang harus dibayar masyarakat.

Karena itu, pemerintah diminta tetap menjaga agar jangan sampai dimasukkannya HBA dalam perhitungan tarif listrik justru malah menaikkan tarif listrik.

Kendati berdasarkan formula harga tarif listrik harus naik, tetapi pemerintah bisa saja menetapkan tarif listrik tidak dinaikkan dengan pertimbangan tertentu.

Pertimbangannya agar tarif listrik terjangkau dan agar industri dalam negeri bisa lebih kompetitif dalam bersaing di pasar global. Reformula dengan memasukkan HBA mestinya tidak serta-merta harus menaikkan tariff listrik, yang menyebabkan tarif listrik tidak terjangkau.

Meski demikian, konsekuensinya, beban PLN akan semakin berat lantaran tarif listrik tidak dinaikkan di tengah melonjaknya harga batu bara dunia.

Untuk meringankan beban PLN itu, pemerintah bisa menempuh upaya untuk mengendalikan harga batu bara dengan menetapkan HBA dalam skema Domestic Market Obligation (DMO).

"Dalam skema DMO, HBA batu bara yang dijual kepada PLN sebagai energi dasar Pembangkit Listrik ditetapkan oleh Pemerintah. Sedangkan batu bara yang dijual di luar PLN dan diekspor, harganya ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar," katanya.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018