Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Coruption Watch (ICW) menyatakan pengelolaan dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sarat dengan praktek korupsi karena tingginya kekuasaan dan monopoli kepala sekolah serta rendahnya transparansi pengelolaan terhadap dana bantuan itu. Anggota komisi monitoring pelayanan publik ICW, Ade Irawan, dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Ad Hoc III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Rabu, mengatakan, salah satu indikator transparansi pengelolaan dana BOS adalah eksistensi Komite Sekolah. "Komite sekolah seharusnya dibentuk dari stakeholder sekolah, yaitu guru dan orang tua murid," katanya. Namun, dalam kenyataanya banyak orang tua murid tidak mengetahui keberadaan dan fungsi komite sekolah. Menurut Ade, ketidaktahuan itu adalah kesengajaan dari kepala sekolah dan pejabat sekolah lainnya yang merasa takut terhadap kontrol kebijakan yang akan dijalankan oleh komite sekolah. Hasil riset ICW di sepuluh kabupaten/kota di Indonesia menyebutkan selain tidak mengetahui tentang komite sekolah, sebanyak 78,4 persen orang tua murid tidak mengetahui mekanisme penentuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Ketidaktahuan itu, menurut Ade, memicu pejabat sekolah mempunyai kekuasaan berlebih untuk memberlakukan pungutan yang tidak wajar, meski sekolah tersebut sudah mendapat BOS. Pungutan tidak wajar itu terlihat dalam riset sepuluh daerah yang dilakukan ICW. Riset tersebut dilakukan terhadap sejumlah Sekolah Dasar Negeri di kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Bau-bau, Kota Makasar, Kota Manado, Kota Banjarmasin, Kota Padang, Kota Jakarta, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tangerang. Data ICW menyebutkan sebanyak 2.283 orang tua murid menyatakan dipungut biaya Lembar Kerja Siswa (LKS) dan buku paket sebesar rata-rata Rp98.050 selama 2006, 1.208 orang tua dipungut uang pendafataran sekolah sebesar Rp70.615 selama 2006, 1.180 orang tua dipungut uang bangunan sebesar Rp65.289 selama 2006. Selain itu, ICW juga mencatat barbagai pungutan lain antara lain uang infak, uang SPP, uang perpisahan kepala sekolah, uang buku ajar, dan uang perpisahan guru. Besaran pungutan rata-rata persiswa bervariasi di setiap daerah, berkisar antara Rp2.000 hingga Rp50 ribu selama 2006. Pungutan tidak wajar itu dibenarkan oleh Handaru, orang tua murid SD IKIP Rawamangun, Jakarta Timur. Handaru menjelaskan setiap siswa di sekolah itu dipungut uang sebesar Rp7,5 juta sebelum ada rumusan resmi APBS. Menurut dia, dana pungutan itu tidak dikembalikan kepada orang tua siswa meski pada tengah tahun ajaran, dana BOS dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) cair. Selain itu, dia mencatat APBS pada tahun ajaran 2006-2007 sebesar Rp3,8 miliar, meningkat dari APBS 2005-2006 sebasar Rp2,5 miliar. Handaru mengatakan, kenaikan APBS itu menunjukkan tidak ada penurunan beban orang tua murid meski sekolah sudah menerima BOS dan BOP.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007