Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VI DPR menilai integrasi pertambangan bauksit dengan industri alumina dan aluminium menjadi keharusan untuk mendapatkan nilai tambah, yang tinggi di dalam negeri.

"Integrasi pertambangan bauksit, lalu diolah menjadi alumina, diolah lagi menjadi aluminium, dan kemudian diproses menjadi produk-produk aluminium di dalam negeri, menjadi keharusan untuk meningkatkan efisiensi industri dan menghasilkan nilai tambah, yang tinggi di dalam negeri. Ini adalah model integrasi pertambangan dan pengolahan hasil tambang, yang perlu dan segera dikembangkan di Tanah Air," kata Wakil Ketua Komisi VI DPR Dito Ganinduto di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, Indonesia memiliki modal besar untuk mengembangkan industri bauksit hingga ke hilir aluminium tersebut.

Indonesia, lanjutnya, memiliki cadangan bauksit cukup besar, yang tersebar di Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, hingga Kalimantan Barat.

Sebelumnya, bauksit hanya diekspor secara mentah, tanpa diolah lebih lanjut menjadi alumina dan aluminium. Namun, saat ini, ekspor bauksit sudah dilarang melalui UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Alumina merupakan bahan setengah jadi dari pemrosesan tambang bauksit.

Dito juga mengatakan rencana pembangunan pabrik peleburan bauksit menjadi alumina telah ada di Mempawah, Kalbar.

"Konsep menambang bauksit di Kalbar dan sekaligus membangun pabrik peleburan bauksit menjadi alumina di Mempawah ini, perlu dimatangkan dan direalisasikan," ujar politisi senior Partai Golkar tersebut.

Sementara itu, lanjutnya, gagasan pengembangan lanjutannya yakni alumina menjadi aluminium juga sudah direncanakan di wilayah Kalimantan Utara dengan memanfaatkan potensi sungai-sungai besar sebagai sumber tenaga listrik dan memadukannya dengan pengembangan kawasan industri di provinsi tersebut.

Industri peleburan logam termasuk alumunium memang perlu mencari sumber listrik murah untuk menekan biaya produksi, sekaligus meningkatkan "competitiveness"-nya.

Dito menambahkan perusahaan induk (holding) BUMN pertambangan juga bisa mendukung industri hilir bauksit menjadi alumunium tersebut.

Menurut dia, dengan "holding", PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan PT Inalum dapat lebih bersinergi menambang bauksit dan kemudian meleburnya menjadi alumina di dalam negeri.

"Antam memiliki pengalaman menambang bauksit dan mengamankan pasokan alumina yang dibutuhkan Inalum," katanya.

Selama ini, untuk memproduksi aluminium, Inalum mendapatkan bahan baku alumina dengan mengimpornya antara lain dari Vietnam dan Argentina.

Di sisi lain, menurut Dito, produksi aluminium Inalum juga hanya 260.000 ton/tahun atau jauh lebih kecil dibandingkan kebutuhan Indonesia yang empat kali lipatnya.

Indonesia, yang ekonominya terus tumbuh, lanjutnya, makin membutuhkan banyak material termasuk aluminium, yang produk-produknya dipakai di berbagai kebutuhan seperti kendaraan bermotor, gedung, perkakas rumah tangga, hingga aluminum foil.

"Ke depan, Inalum perlu dan harus meningkatkan produksinya, untuk memasok sebagian kebutuhan Indonesia," katanya.

Oleh karena itu, Dito berharap rencana besar pengembangan pertambangan bauksit yang terintegrasi dengan industri alumina dan aluminium tersebut bisa segera terwujud.

Ia mengatakan sejumlah elemen penting untuk mewujudkan rencana tersebut antara lain menambang bauksit, membangun pabrik peleburan bauksit menjadi alumina di Mempawah, Kalbar, dan membangun pabrik peleburan alumina menjadi aluminium beserta pembangunan PLTA-nya di Kaltara.

"Pekerjaaan-pekerjaan besar tersebut beserta turunannya akan menciptakan nilai tambah, yang tinggi dan banyak menciptakan lapangan kerja di Tanah Air," ujar Dito.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018