Jakarta (ANTARA News) - Sistem peradilan perdata Indonesia berada di urutan 145 dari 190 negara sesuai penilaian Bank Dunia 2018, kata mantan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah.

Bahwa rata-rata waktu penyelesaian perkara perdata di Indonesia adalah 390 hari, sementara biaya proses perkara mencapai 74 persen dari nilai sengketa, katanya dalam acara "AHP Business Law Forum 2018: Revitalisasi Hukum Ekonomi & Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia" di Jakarta, Selasa.

"Ini artinya orang harus mengeluarkan biaya hampir setara dengan nilai ekonomi yang akan didapat jika memenangi sengketa bisnis. Angka di 2018 sebenarnya sudah membaik dibandingkan biaya proses perkara pada 2017 yang mencapai 118 persen, tetapi tetap saja tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain," tuturnya.

Chandra mengungkapkan di kalangan komunitas hukum Indonesia, sistem perdata kerap dikritisi. Banyak proses yang kurang esensial dan dipertahankan karena tradisi, di samping fokusnya yang terlalu berat pada kebenaran formil seolah-olah fakta dan pembuktian bukan hal utama.

Hingga akhirnya pada 2015 Mahkamah Agung melakukan terobosan, berbagai hambatan yang menyebabkan berlarutnya penyelesaian sengketa perdata dihapus melalui Perma tentang Gugatan Sederhana meski hanya untuk perkara yang nilainya di bawah Rp200 juta.

Ia menyebutkan, penyelesaian sengketa alternatif melalui arbitrase dan mediasi juga banyak dirundung masalah, terutama soal eksekusi yang juga merupakan masalah laten di pengadilan perdata.

Masalah lain adalah sikap pengadilan terhadap putusan arbitrase, khususnya mengenai proses pembatalannya. "Sementara di mediasi kecenderungan mekanisme tersebut dilakukan sebagai proforma masih sulit dihindari," ujarnya.

Perkara perdata juga kerap beririsan dengan pidana. Berdasarkan Laporan Tahunan MA, setiap tahun hampir separuh perkara pidana yang dikasasi ke MA berawal dari sengketa perdata. Bahkan penipuan atau perbuatan curang dan penggelapan selalu menjadi tindak pidana umum di urutan teratas.

Sementara itu, Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Ahmad Fikri Assegaf menyatakan masalah lain yang harus dibenahi adalah soal perizinan, mulai dari izin pendirian usaha hingga izin melakukan kegiatan usaha tertentu.

Fikri mengacu survei Bank Dunia yang mengindikasikan Indonesia masih tertinggal dalam urusan menjamin kemudahan pembentukan badan usaha.

"Di awal saja pengusaha di Indonesia sudah harus mempertimbangkan hampir 20 peraturan yang berbeda di tingkat pusat dan daerah," katanya.
 

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018