Yogyakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) meyakini pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir hingga hampir menyentuh Rp14.000 per dolar AS sifatnya temporer dan tidak akan terpuruk seperti pada 2013.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, volatilitas yang terjadi saat ini memang sangat dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve yang menaikkan suku bunga acuan pada Maret lalu dan diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan hingga tiga kali pada tahun ini.

"Kita sedang menghadapi suku bunga penyedia valas dunia naik dan beberapa bank sentral dunia juga sudah menaikkan suku bunganya, tentu terjadi sedikit volatility," ujar Mirza dalam Seminar Nasional "Pengembangan dan Pembiayaan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor" di Yogyakarta, Senin.

Mirza menuturkan, pada 2013, saat The Fed baru memberikan aba-aba untuk menaikkan suku bunga acuannya saja rupiah sempat terpuruk hingga mengalami depresiasi mencapai 26 persen sepanjang 2013. Begitu pula pada 2015, rupiah juga sempat `goyang` ketika The Fed menaikkan suku bunga acuan pertama kalinya.

Untuk tahun ini, lanjutnya, kendati rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dolar AS, tidak akan seperti pada lima tahun lalu karena indikator makro ekonomi Indonesia masih relatif baik.

"Tahun 2018 agak sedikit goyang. Tapi tenang, menurut kami ini sifatnya temporer. Tidak akan goyang seperti 2013 karena kita jaga rasio makro dengan baik seperti inflasi dan fiskal, serta pemerintah juga akan terus melanjutkan deregulasi," ujar Mirza.

Mirza mengatakan, saat ini kondisi ekonomi dunia sebetulnya sedang dalam kondisi bagus di mana perekonomian AS membaik, bahkan revisi ke atas. Begitu pula ekonomi di Eropa, Jepang, China, dan juga India. Ekonomi yang melaju tentunya memilik konsekuensi inflasi yang naik karena ekonomi bergerak lebih cepat sehingga mendorong meningkatnya permintaan dan membuat harga naik.

"Responnya adalah suku bunga di dunia itu mulai naik dan tentu diawali dengan AS. AS sebagai penyedia likuiditas dolar di dunia dan perdagangan dan investasi di dunia itu masih didominasi oleh dolar. Suka tidak suka situasi masih seperti itu," ujar Mirza.

Bank sentral sendiri melihat suku bunga AS masih akan terus naik hingga mencapai 3 persen di mana saat ini suku bunga acuan The Fed masih berada di level 1,75 persen.

"Suku bunga AS akan terus naik, sekarang baru 1,75 persen. Mungkin menuju ke tiga persen. Tahun ini baru sekali, mungkin Juni dan September, atau Juni dan Desember, atau mungkin juga Juni, September, dan Desember. Kalau naiknya tiga kali, maka ia jadi 2,5 persen, belum sampai tiga persen. Jadi kita menghadapi suku bunga AS yang masih terus naik dan suku bunga dunia juga mulai bergerak naik," kata Mirza.

Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Senin kembali melemah mencapai Rp13.956 per dolar AS, dibandingkan Jumat (4/5) lalu yang mencapai Rp13.943 per dolar AS.

Baca juga: Rupiah Senin pagi melemah ke Rp13.944

Baca juga: Bank Indonesia menyebut volatilitas rupiah 5,7 persen masih rendah

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018