Bogota (ANTARA News) - Anak-anak di seluruh dunia semakin rentan menjadi korban kekerasan seksual warga negara sendiri dibanding wisatawan asing yang sengaja mencari aktivitas seks ilegal, kata sejumlah pakar perdagangan manusia pada Rabu.

Gambaran umum predator seksual kini bukan lagi seorang kulit putih setengah baya yang kaya dari negara Barat, melainkan para pelancong usaha, pekerja migran, dan turis lokal di negara atau kawasan sendiri, kata para pakar dalam konferensi internasional untuk perlindungan anak dalam pariwisata di Bogota.

Pada level global, sekitar 1,2 juta anak diperkirakan menjadi korban kekerasan seksual dan kerja paksa, demikian catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Wisata seks anak semakin merebak akibat biaya perjalanan yang semakin murah dan teknologi internet seperti aplikasi pengirim pesan instan yang memudahkan para predator untuk mencari anak-anak yang rentan melalui identitas anonim, kata para pembicara dalam konferensi di Bogota.

"Monster yang kita hadapi tidak lagi sama seperti yang kita kenal beberapa tahun lalu. Profil mereka berubah sangat banyak sehingga kita harus semakin waspada," kata Sandra Howard, wakil menteri pariwisata Kolombia.

Tumbuh pesatnya industri pariwisata beriringan dengan semakin besarnya resiko dan kerentanan anak terhadap para predator seksual, kata Howard kepada Thomson Reuters Foundation.

"Sebagian pelaku memang berasal dari kawasan asing, namun sebagian besar adalah para pelancong domestik dan regional," kata Dorothy Rozga, kepala lembaga anti-perdagangan manusia ECPAT International.

Profil pelaku kini bukan lagi seorang mantan narapidana pedofilia dari negara-negara Barat yang melarikan diri ke kawasan baru untuk mencari korban baru, melainkan para oportunis yang yakin mereka bisa lolos dari jeratan hukum, demikian laporan ECPAT pada 2016 lalu.

Kejahatan seksual terhadap anak juga diperparah toleransi sosial dan impunitas yang dihasilkan dari tingkat hukuman yang rendah, kata Najat Maala M`jid, yang mengepalai sebuah satuan tugas global untuk menghapus eksploitasi anak di bidang perjalanan dan wisata.

"Toleransi terhadap kejahatan ini terus naik," kata dia dalam konferensi yang sama.

"Selama saya bekerja, saya telah mengunjungi banyak negara dan apa yang membuat saya marah adalah, tindakan ini dianggap normal," kata M`jid, seorang mantan pakar PBB dalam bidang perdagangan anak, prostitusi anak, dan pornografi.

Warga lokal yang mengetahui tempat-tempat wisata seks bisa membantu dengan melaporkan kejahatan ini, kata Karen Abudinen, kepala badan perlindungan anak Kolombia (ICBF).

Sepanjang dua tahun terakhir, ICBF telah membantu 662 anak, sebagian besar di antaranya adalah remaja putri, yang menjadi korban eksploitasi seks komersial di Kolombia.

Baca juga: Gambia minta maaf karena sebut Thailand sebagai tujuan wisata seks

Pewarta: Antara
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018