"Jika pemerintah melakukan deregulasi, nilai ekspor perikanan bisa kembali masuk dalam daftar 10 penyumbang devisa terbesar di Indonesia"
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat sektor perikanan Abdul Halim mengatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti perlu mendengar masukan dari mantan menteri Rokhmin Dahuri yang pernah memimpin kementerian yang sama dengan Susi.

"Rokhmin Dahuri dan kawan-kawannya punya analisa, pun demikian dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Jika semangatnya untuk memajukan kepentingan nasional, duduk bersama, dan rumuskan solusi bersama," kata Abdul Halim, di Jakarta, Minggu.

Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu berpendapat, sebaiknya Menteri Susi membuka diri terhadap masukan berbagai pihak, karena tidak ada kalah dan menang dalam mengurus kepentingan bangsa dan kemaslahatan usaha perikanan dalam negeri.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengusulkan agar langkah deregulasi kebijakan perikanan diperkuat untuk meningkatkan ekspor komoditas kelautan dan perikanan.

"Jika pemerintah melakukan deregulasi, nilai ekspor perikanan bisa kembali masuk dalam daftar 10 penyumbang devisa terbesar di Indonesia, dengan nilai sebesar 5,8 miliar dolar AS, menduduki peringkat ke-9," kata Rokhmin.

Menurut dia, saat ini ekspor kelapa sawit dan produk oleochemical adalah penghasil devisa terbesar. Setelah itu penghasil devisa terbesar lainnya adalah pariwisata, tekstil dan garmen, migas, serta batubara.

Ia mengingatkan bahwa pada tahun 2014 ekspor produk perikanan Indonesia pernah berada pada peringkat ke-6 dari 10 besar penghasil devisa.

Namun, lanjutnya, sejak tahun 2015 hingga 2018 ekspor perikanan tidak masuk lagi pada 10 besar komoditas penghasil devisa Indonesia.

Menurut dia, anjloknya produksi perikanan disebabkan oleh berbagai regulasi yang kontraproduktif, seperti moratorium perpanjangan izin kapal nelayan yang diimpor secara legal, larangan transshipment, larangan pengiriman kepiting ukuran tertentu dan betina, dan hambatan akses kapal buyer ikan kerapu hidup hasil budidaya.

Selain deregulasi, ia juga menyarankan agar dilakukan langkah lainnya yaitu mempercepat proses perizinan dan perpanjangan perizinan, serta mengembangkan aquaculture atau perikanan budi daya yang potensi ekonominya 240 miliar dolar AS per tahun.

Langkah lainnya adalah menerapkan teknologi modern untuk tambak garam sehingga produktivitasnya naik hingga 400 persen, dan kualitasnya juga naik agar bisa memasok seluruh kebutuhan garam dapur dan industri dengan target bisa menghemat devisa dari impor garam sebesar 1,4 miliar dolar AS per tahun.

Kemudian, mengoptimalkan kapasitas terpasang industri pengolahan ikan dengan menjamin pasokan bahan baku ikan dari dalam negeri yang potensi tangkapan ikannya 12.5 juta ton per tahun, dengan potensi ekspor sekitar 12 miliar dolar AS per tahun.

Rokhmin berpendapat bahwa jika langkah-langkah itu dijalankan, maka dalam waktu 6 hingga 24 bulan sektor perikanan Indonesia bisa menghasilkan devisa sekitar 5,8 miliar dolar, dan dalam waktu lima  tahun bisa meningkat hingga 52 miliar dolar, serta dalam waktu satu hingga dua dekade bisa meningkat hingga 252 miliar dolar per tahun.

"Devisa sebesar ini ekuivalen dengan 12 kali devisa dari sawit, atau sekitar 164 persen dari APBN RI tahun 2018," ucapnya.

Baca juga: Susi beberkan pencapaian bidang kelautan dan perikanan

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018