...kita bangun pembangkit di sebelah tambang itu karena pembangkit di sebelah batubara jadi batubara bernilai dan kami jadikan nilai tambah karena kami yang membuat listrik, sehingga bukan batubara yang dibawa ke kota tapi listrik yang dialirkan ke k
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir menjelaskan perubahan mekanisme pelaksanaan proyek PLTU RIAU-1 yang menggunakan penunjukkan langsung dan bukan tender terbuka seperti sebelumnya.

"Mekanisme PLTU MT RIAU-1 tadinya tender terbuka biasa, tapi itikad kami baik untuk menurunkan tarif listrik nasional. Kami mencari beberapa alternatif salah satunya ada potensi dari mulut tambang karena saat kalau cara yang lama harga batubara mahal sekali karena lokasinya jauh dari jalanan dan bila dibeli harganya mahal sekali dan PLN akan rugi lalu karena harga batubaranya turun 50 persen maka kami mulai dengan mulut tambang," kata Direktur Utama PLN Sofyan Basir di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Sofyan bersaksi untuk pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo yang didakwa memberikan hadiah atau janji kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Golkar (saat itu) Idrus Marham senilai Rp4,75 miliar terkait pengurusan proyek "Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT RIAU-1).

"Kami sampaikan bagaimana kalau kita bangun pembangkit di sebelah tambang itu karena pembangkit di sebelah batubara jadi batubara bernilai dan kami jadikan nilai tambah karena kami yang membuat listrik, sehingga bukan batubara yang dibawa ke kota tapi listrik yang dialirkan ke kota," ungkap Sofyan.

Mekanisme ini tertuang dalam Peraturan Presiden no 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang mewajibkan pembangunan infrakstruktur ketenagalistrikan dilaksanakan PLN melalui anak perusahaan PLN sebagai bentuk kerja sama PT PLN dengan badan usaha milik asing dengan syarat anak perusahan PLN memiliki saham 51 persen baik secara langsung atau melalui anak perusahaan PT PLN lainnya.

"Kami yang buat batubara jadi berharga dan peran kami besar maka PLN ingin memiliki perusahaan itu, tapi kami tidak punya uang maka kami ajak investor untuk mencari batu bara untuk membuat pembangkit. Kami minta 51 persen sehingga kami bisa tugaskan ke anak perusahaan lalu anak perusahaan membuat pemilihan langsung, kami dapat perpres itu yang mengubah pola bisnis di PLN," ungkap Sofyan.

Sofyan mengklaim dengan pola tersebut selain harga jual dari pembangkit bisa turun karena bahan bakunya hanya mengeluarkan biaya gali tanpa ada biaya angkut.

"Pengusaha mau karena dari tadinya batubara tidak bisa dijual jadi mendapat keuntungan setiap hari setiap tahun karena pasti kami beli batubara untuk pembangkit," tambah Sofyan.

Tambang yang akan menyuplai batubara ke PLTU MT RIAU-1 itu adalah PT Samantaka Batubara. 

PT Samataka Batubara adalah anak perusahaan Blackgold Natural Resources (BNR) yang memiliki 99 persen saham PT Samantaka, sedangkan Kotjo adalah pemilik dari PT BNR.

"Setelah Blackgold berinteraksi dengan PLN maka dilakukan proses-proses di perjalanan, beberapa bulan kemudian ada pertemuan dengan kami sekitar akhir 2017-an," ungkap Sofyan.

Atas perbuatannya, Kotjo disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Baca juga: Setnov disebut Sofyan Basir minta proyek PLN di Jawa

Baca juga: Eni ungkap pertemuan Sofyan di kediaman Novanto

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018