Surabaya (ANTARA News) - Daur ulang botol plastik sudah lazim terdengar, namun bagaimana dengan sampah plastik kemasan sachet?

Kemasan kecil nan praktis ini digemari karena produk sachet harganya relatif lebih murah, tapi di sisi lain lebih sulit didaur ulang karena terdiri dari plastik yang berlapis-lapis.

CreaSolv, teknologi pengolahan sampah plastik fleksibel alias kemasan sachet yang dikembangkan Unilever dengan Fraunhover IVV di Jerman, kini hadir di Indonesia. 

Teknologi dengan investasi senilai 10 juta Euro itu sudah dikembangkan sejak 2011.
 
Pelet plastik hasil daur ulang sampah kemasan sachet di pabrik percontohan CreaSolv di Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (26/10/2018). Teknologi itu dikembangkan Unilever dan Fraunhover IVV di Jerman. (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Pabrik percontohan teknologi itu terletak di Sidoarjo, Jawa Timur dan diklaim sebagai satu-satunya di dunia.

David Blanchard, Chief Research & Development Officer Unilever Global, mengatakan Indonesia jadi tempat pertama untuk pabrik percontohan teknologi CreaSolv.

Indonesia sedang menghadapi masalah besar dalam menanggulangi sampah plastik. Negeri ini adalah penghasil mikroplastik -partikel plastik berukuran sangat kecil- terbesar kedua di dunia setelah China.

"Indonesia adalah tempat yang tepat untuk teknologi ini," kata David di pabrik percontohan CreaSolv, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (26/10).

Di pabrik ini, kemasan plastik sachet yang sudah dipilah, dibersihkan dan dicacah kemudian diolah hingga menghasilkan polietilena alias termoplastik. 

Proses daur ulang menghasilkan polietilena berbentuk batangan panjang setipis pasta spageti, dipotong-potong kecil hingga berbentuk pelet plastik, siap dijadikan bahan baku kemasan sachet baru.

Teknologi ini diharapkan bisa mewujudkan ekonomi sirkular di mana sampah produk diproses lagi menjadi bahan baku agar tidak ada limbah menggunung yang pada akhirnya merusak lingkungan.

Selama masa uji coba, pabrik percontohan ini ini bisa mengolah sampah plastik sachet hingga 3 ton per hari. 

Bila sudah beroperasi untuk skala komersial, ditargetkan tiga hingga enam bulan mendatang, pabrik ini bisa mengolah hingga 27 ton sampah plastik sachet.

Teknologi ini diklaim kelak bisa mengurangi dampak CO2 sebesar 7.800 ton per tahun untuk setiap unit operasi, setara dengan 8.200 ton plastik fleksibel.

Ke depannya, Unilever berencana membuat pabrik teknologi CreaSolv di tempat-tempat lain di Indonesia, juga di negara lain seperti India.
 


Mengumpulkan sampah

Proses daur ulang bakal terhambat bila tak  ada plastik sachet yang siap diolah.

Itulah mengapa bank sampah dan Tempat Pembuangan Sampah terpadu dengan sistem 3R (Reuse, Reduce dan Recycle) berperan penting dalam menyukseskan proses daur ulang. 

Bank-bank sampah itu mengumpulkan dan memilah plastik sachet sebelum menyerahkannya ke pabrik pengolahan.

Sayangnya, budaya memilah sampah sesuai jenisnya belum banyak diterapkan di Indonesia.
 
Warga menimbang sampah di bank sampah Makmur Sejati di Sidoarjo, Jawa Timur (27/10/2018) (ANTARA News/ Nanien Yuniar)



"Tantangannya ada di pengumpulan, itu salah satu faktor kesuksesan agar pabrik CreaSolv berjalan," ujar  Head of Suistanable Business Unilever Indonesia, Sinta Kaniawati.

Saat ini sumber plastik fleksibel yang didaur ulang di CreaSolv berasal dari 200 bank sampah di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, kota Mojokerto dan kabupaten Mojokerto.

Baca juga: Polusi plastik di laut jadi masalah sangat serius

Salah satunya bank sampah Makmur Sejati di Desa Kepuhkiriman, Waru, Sidoarjo yang memasok plastik fleksibel untuk Unilever sejak 2017.  Tahun lalu, mereka berhasil mengumpulkan 900 kilogram sampah plastik fleksibel. 

Sampah-sampah yang tertumpuk rapi di sana tidak menguarkan bau busuk menyengat karena sudah dibersihkan dan dipilah sesuai jenisnya. 

Warga sekitar bisa mendapatkan  memberikan sampah-sampah rumah tangga mereka dengan imbalan uang yang nilainya bervariasi dari ratusan hingga ribuan rupiah per kilogram, tergantung dari jenis sampah yang diberikan. 

“Yang mahal itu botol-botol putih tebal untuk produk kecantikan atau shampo,” kata Dewi Masita, salah satu “nasabah” bank sampah pada ANTARA News, Sabtu. 

Ia dan suaminya, Happy Sutanto, menjadi koordinator pengumpul sampah untuk sekitar 40 warga di sekitar rumahnya. 

“Ada orang-orang yang tidak sempat (ke bank sampah), daripada dibuang lebih baik saya yang pilah,” imbuh Dewi. 

Tidak semua orang mau repot-repot mengumpulkan, memilah dan membersihkan sampah untuk dibawa ke bank. Mereka memilih untuk menyerahkannya pada Dewi dan Happy yang sukarela mengurusnya agar bisa laik diberikan ke bank sampah. 

Sekitar tiga tahun sudah dia menabung di bank sampah, jumlah uang yang didapatnya selama ini sudah mencapai sekitar Rp700.000. 

Baca juga: Meningkatkan ekonomi dari sampah
 
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bakti Bumi, Sidoarjo, Jawa Timur (27/10/2018) (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Sementara di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bakti Bumi, Sidoarjo, jumlah sampah fleksibel yang bisa diolah jauh lebih besar, mencapai dua juta ton per hari. 

Tetapi sampah-sampah di TPST harus melewati proses lebih panjang karena masih tercampur dengan sampah organik yang membuat baunya menyengat. 

Para pekerja masih harus memisahkan sampah anorganik, lalu memilah sampah plastik fleksibel dan mencuci serta mencacahnya sebelum didaur ulang.

CreaSolv adalah bagian dari upaya Unilever menangani masalah sampah plastik. 

Perusahaan tersebut punya target besar untuk 2025, yakni memastikan semua kemasan plastik yang digunakan bisa didaur ulang, dipakai kembali atau diurai. 

Unilever juga bertekad meningkatkan konten plastik daur ulang dalam kemasan minimal 25 persen pada 2025 serta mengurangi sepertiga berat kemasan pada 2020.

David menambahkan, pihaknya juga sedang mengembangkan inovasi untuk konsumen yang ingin membeli produk dengan kemasan ramah lingkungan. 

Ia mencontohkan Love Beauty and Planet di mana kemasannya dibuat dari bahan daur ulang, menghilangkan plastik dari kemasan sabun batangan di India hingga sikat gigi berbahan bambu yang baru ada di Eropa.

Baca juga: Cara sederhana ini bisa kurangi penggunaan plastik

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018