Kami minta pemerintah cabut izin usaha PT BAPP. Kami juga minta BAPP angkat kaki dari Kebar karena berbagai kerusakan lingkungan, sosial, ekonomi yang ditimbulkan dari aktifitas perusahaan.
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Suku Mpur, Paulus Ajombuani, meminta pemerintah untuk mencabut izin dan hak guna usaha PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) yang merupakan anak perusahaan Indofood Group yang menguasai dan mengambil manfaat di tanah adat Suku Mpur di Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.

"Kami minta pemerintah cabut izin usaha PT BAPP. Kami juga minta BAPP angkat kaki dari Kebar karena berbagai kerusakan lingkungan, sosial, ekonomi yang ditimbulkan dari aktifitas perusahaan," kata Paulus.

Hal itu disampaikan Paulus dalam konferensi pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta, Kamis.

Paulus Ajombuani mewakili suara dari 64 subsuku atau kelompok marga di Kebar.

Ia mengatakan PT BAPP mendapat izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) untuk perkebunan kelapa sawit.

Tapi sejak 2015, perusahaan ini malah menanam jagung dalam skala luas, selain itu BAPP juga melakukan penggusuran dan membongkar hutan dan lahan sagu milik warga.

Menurut dia, saat ini masyarakat setempat tidak bisa lagi bercocok tanam sagu di hutan adat karena hutan diambil alih sejumlah perusahaan besar untuk kepentingan perkebunan sawit.

"PT BAPP tidak terbuka dengan masyarakat. Perusahaan bilang hanya melakukan uji coba kebun jagung selama tiga tahun di lahan terbuka dan alang-alang. Kenyataannya perusahaan menggusur dan membongkar hutan dan dusun sagu warga," kata Paulus.

Paulus menuturkan, ada sejumlah perusahaan grup Indofood yang menguasai Tanah Papua.

Ia merinci empat perusahaan telah menguasai hutan adat di Papua Barat yakni PT BAPP dengan 19.369 hektar di Kabupaten Tambrauw, PT Subur Karunia Raya dengan 38.620 ha di Kabupaten Teluk Bintuni, PT Rimbun Sawit Papua menguasai 30.596 ha di Kabupaten Fak-fak, PT Menara Wasior dengan 32.173 ha di Kabupaten Teluk Wondama.

"Keempat perusahaan ini ada di wilayah administrasi Provinsi Papua Barat," katanya.

Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Papua. Pastor Nico Demus Rumbayan, pimpinan tokoh agama Papua, mengatakan ada tiga distrik di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua yang dikuasai oleh beberapa perusahaan.

Ia merinci, Distrik Muting dikuasai oleh PT Agriprima Cipta Persada (ACP) dan PT Agrinusa Persada Mulia (APM).

Distrik Eligobel dikuasai oleh PT APM dan PT Internusa Jaya Sejahtera (IJS). Sementara Distrik Ulilin dikuasai oleh PT Bio Inti Agrindo, PT Berkat Cipta Abadi dan PT Papua Agro Lestari.

Sedangkan satu perusahaan yakni PT Tunas Agung Sejahtera menguasai 40 ribu hektar lahan di Kabupaten Mimika, Papua.

Perusahaan-perusahaan kelapa sawit ini, kata Pastor Nico, berhasil menguasai tanah adat dengan cara membuat perjanjian sepihak dengan sejumlah marga yang bukan pemilik tanah ulayat.

"Warga dibawa ke beberapa daerah untuk studi banding untuk melihat bahwa dengan pembangunan sawit, masyarakat bisa sejahtera. Lalu perusahaan membuat pola perjanjian sepihak yang akhirnya membawa konflik pada marga dan etnis. Di internal sendiri, saling tuduh menuduh karena merasa tak bersalah menyetujui perjanjian," katanya.


Baca juga: Uskup Timika larang masyarakat asli Papua jual tanah

Baca juga: Komisi II DPR minta BPN jelaskan hukum adat tanah ulayat di Papua
 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018