Bencana alam tsunami Selat Sunda yang meluluhlantakkan kawasan pesisir Barat Provinsi Banten dan Lampung meninggalkan kenangan dan luka yang sulit dilupakan bagi mereka para penyintas.
   
Meski lolos dari maut pada malam Minggu di 22 Desember 2018, namun bukan berarti para penyintas bisa dengan mudah melanjutkan aktivitas mereka tanpa dibayangi trauma.
   
Salah seorang penyintas yang ditemui di kawasan Meruya Selatan, Jakarta Barat, menceritakan kengerian yang ia alami dalam malam yang seharusnya penuh suka cita.
   
Hari itu, Kadek Agus Nata Riadnyana, bersama sembilan delapan orang rekannya dan satu balita sedang menghabiskan masa liburan Natal di sebuah penginapan di kawasan Ciputih Ujung Kulon.
   
Pria berumur 28 tahun itu menceritakan, ia tiba di penginapan Sabtu siang, dan melanjutkan dengan kegiatan bebakaran di pinggir penginapan yang berada tidak jauh dari bibir pantai.
   
Menurut dia, situasi malam itu cerah dan terang bulan karena bulan purnama dan tidak ada tanda-tanda akan terjadi sebuah peristiwa yang hampir merenggut nyawanya.
   
Sekitar pukul 22.00 WIB, saat ia masih mengobrol dengan beberapa temannya, tiba-tiba ia mendengar gemuruh yang sangat mirip dengan bunyi mesin jet pesawat terbang.
   
Ia pun sempat bertanya-tanya apakah lokasi penginapannya dekat dengan lapangan udara atau ada pesawat yang sedang melintas di atas kepala mereka.
   
Belum sempat membahas lebih jauh, ia pun mencari asal bunyi tersebut yang ternyata datang dari pinggir pantai disertai dengan gelombang besar yang melaju begitu cepat.
   
Kadek hanya sempat berlari sejauh lima meter hingga akhirnya tergulung gelombang hingga tersangkut di kusen jendela penginapannya.
   
Suasana mendadak menjadi gelap dan sunyi, hanya ada bunyi gulungan air, barang yang berbenturan, dan helaan nafasnya seiring dengan usahanya untuk naik ke permukaan.

Saat berada di bawah air, naluri bertahan hidupnya secara alami menginstruksikan untuk menahan nafas selama mungkin, tutur Kadek.
   
Selama berpegangan di kusen jendela, Kadek ingat ada dua gelombang yang menerjang kawasan penginapannya.
   
Ia tidak mampu mengingat berapa lama ia bertahan dalam situasi tersebut, namun yang pasti saat air surut, ia menyadari badannya penuh luka lecet dan tangan kirinya sudah berlumuran darah.
   
Hingga saat dirujuk ke salah satu rumah sakit swasta di bilangan Kebon Jeruk Jakarta Barat keesokan harinya, ia pun baru mengetahui pembengkakan di wajah bagian kanan akibat ada retakan di tulang pipinya.
   
Salah satu rekan Kadek, yaitu Ryan Setyawan juga menceritakan apa yang ia alami saat kejadian tsunami.
Kadek Agus menceritakan kisahnya saat mengalami bencana Tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 sembari menunjukkan luka-luka yang ia alami. (Antaranews/Roy Rosa Bachtiar)


Ada Keajaiban
Sama seperti Kadek, Ryan juga memberikan penuturan serupa terkait fenomena kedatangan tsunami yang mirip bunyi pesawat jet.
   
Ia pun tidak menyangka bahwa bunyi yang ia dengar tidak bersamaan dengan penampakan pesawat, melainkan terjangan gelombang air yang menurut perkiraannya setinggi pohon kelapa atau sekitar tiga hingga enam meter.
   
Begitu menyadari kedatangan air laut, Ryan hanya sempat bangun dari posisi duduknya dan memutar badannya mengarah ke penginapan. Baru sempat berlari beberapa meter, gelombang tsunami ternyata lebih cepat dan menyeret tubuhnya dalam aliran air.
   
Akan tetapi, keajaiban seakan muncul dan memberikan kesempatan hidup kedua untuk Ryan. Hal terakhir yang ia ingat pada peristiwa itu ialah mencoba berlari menyelamatkan diri, setelah itu ia lupa apa yang menimpanya.
   
Begitu tersadar, katanya melanjutkan, ia sudah berada di lantai dua penginapan dengan posisi berdiri serta nafas yang tersengal-sengal.
   
Tubuhnya yang basah mengindikasikan dirinya sempat masuk ke dalam air namun ia tidak tahu pasti bagaimana ia bisa berada di lantai dua tanpa bisa mengingat-ingat kronologinya.
   
Ryan bersama sembilan orang temannya selamat meski mengalami luka parah, yaitu patah tulang selangka bagian kanan, luka sobek sepanjang sekitar 10 centimeter di kepala, hingga luka-luka akibat pecahan kaca yang menancap di sekujur tubuh.
   
Aktivitasnya pun menjadi sangat terbatas dan untuk beberapa bulan ke depan ia tidak bisa menggerakan tangan kanannya akibat patah tulang yang ia derita.
   
Jika mengingat apa yang dialaminya, hingga kondisi teman-temannya yang selamat, ia mengaku sangat bersyukur dan meyakini bahwa keajaiban Tuhan memang benar adanya.

Pengetahuan Bencana
Berhadapan dengan bencana menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi mereka dan keluarga. Muncul kesadaran akan arti bencana, bagaimana menghadapinya, dan memunculkan kesiagaan situasional saat berada di lokasi yang rawan bencana.
   
Melihat pada kondisi di kawasan penginapan Ciputih, keduanya mengaku bahwa tidak ada rambu atau pemberitahuan yang menjadi pengingat bagi pengunjung untuk waspada akan bahaya bencana.
   
Jangankan arahan secara verbal dari petugas atau karyawan penginapan, papan petunjuk arah evakuasi pun tidak ditemukan di tempatnya menginap.
   
Saat tsunami menerjang pun, Kadek seketika beradaptasi dengan kondisi itu dengan sisa tenaga yang masih ia miliki usai tergulung gelombang dan penuh luka. Saat air laut surut, Kadek yang belum merasakan sakit akibat pengaruh hormon adrenalin, mencoba mencari teman-temannya di tengah kegelapan.
   
Tanpa arahan atau bantuan dari orang lain, ia berinisiatif mencari teman-temannya yang lain dengan berteriak memanggil nama sekencang mungkin. Selain itu, penyampaian informasi kepada orang di sekitar pun dinilai penting untuk mendukung proses identifikasi dan konfirmasi.
   
Sri Retnowati, Ibu dari Ryan, mulanya tidak mengetahui bahwa putra sulungnya tersebut berlibur ke kawasan Ciputih. Saat kabar peristiwa tsunami beredar di media masa pun ia hanya sekedar menonton dan menyimak tanpa mengetahui nasib anaknya.
Ryan Setyawan mengalami luka yang cukup parah yaitu patah tulang selangka kanan, luka sobek di kepala bagian atas, serta luka-luka di tubuh bagian belakang akibat tertusuk pecahan kaca. (Antaranews/Roy Rosa Bachtiar)


Kecurigaan muncul saat ia mencoba untuk menghubungi Ryan namun tidak ada jawaban meski telah lima kali mencoba menelpon.
   
Sri akhirnya mengetahui nasib anaknya setelah salah seorang orang tua teman Ryan mengabari situasi yang dialami anak mereka.
   
Meski panik dan sedih, namun dia mengaku lega setelah tahu putranya masih hidup walaupun mengalami luka yang cukup parah.
   
Berkaca dari hal ini, Ryan mendapat pelajaran berharga tentang arti penting komunikasi. Komunikasi yang baik tidak hanya bisa memberi pencerahan, namun juga dapat menekan jumlah korban jika terjadi bencana.

Seharusnya hal ini juga bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah pusat maupun daerah agar dapat memberikan informasi tentang mitigasi di kawasan-kawasan rawan bencana.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019